Minggu, 25 September 2011

Apakah Anda Sudah Mengenal Allah?

Pertanyaan ini mungkin jarang sekali kita dengar. Bahkan, bagi banyak orang akan terasa aneh dan terkesan tidak penting. Padahal, mengenal Allah dengan benar (baca: ma’rifatullah) merupakan sumber ketentraman hidup di dunia maupun di akherat. Orang yang tidak mengenal Allah, niscaya tidak akan mengenal kemaslahatan dirinya, melanggar hak-hak orang lain, menzalimi dirinya sendiri, dan menebarkan kerusakan di atas muka bumi tanpa sedikitpun mengenal rasa malu.

Berikut ini, sebagian ciri-ciri atau indikasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta keterangan para ulama salaf yang dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam menjawab pertanyaan di atas:


Pertama; Orang Yang Mengenal Allah Merasa Takut Kepada-Nya
 Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu saja.” (QS. Fathir: 28)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, ‘Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti keilmuan.’ Kurangnya rasa takut kepada Allah itu muncul akibat kurangnya pengenalan/ma’rifah yang dimiliki seorang hamba kepada-Nya. Oleh sebab itu, orang yang paling mengenal Allah ialah yang paling takut kepada Allah di antara mereka. Barangsiapa yang mengenal Allah, niscaya akan menebal rasa malu kepada-Nya, semakin dalam rasa takut kepada-Nya, dan semakin kuat cinta kepada-Nya. Semakin pengenalan itu bertambah, maka semakin bertambah pula rasa malu, takut dan cinta tersebut….” (Thariq al-Hijratain, dinukil dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])


Kedua; Orang Yang Mengenal Allah Mencurigai Dirinya Sendiri
 Ibnu Abi Mulaikah -salah seorang tabi’in- berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluhan orang Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka semua merasa sangat takut kalau-kalau dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq).
Suatu ketika, ada seseorang yang berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai sang alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Kami ini bukan ulama. Sebenarnya orang yang alim itu adalah orang yang senantiasa merasa takut kepada Allah.” (dinukil dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])


Ketiga; Orang Yang Mengenal Allah Mengawasi Gerak-Gerik Hatinya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “..Begitu pula hati yang telah disibukkan dengan kecintaan kepada selain Allah, keinginan terhadapnya, rindu dan merasa tentram dengannya, maka tidak akan mungkin baginya untuk disibukkan dengan kecintaan kepada Allah, keinginan, rasa cinta dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya kecuali dengan mengosongkan hati tersebut dari ketergantungan terhadap selain-Nya. Lisan juga tidak akan mungkin digerakkan untuk mengingat-Nya dan anggota badan pun tidak akan bisa tunduk berkhidmat kepada-Nya kecuali apabila ia dibersihkan dari mengingat dan berkhidmat kepada selain-Nya. Apabila hati telah terpenuhi dengan kesibukan dengan makhluk atau ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat maka tidak akan tersisa lagi padanya ruang untuk menyibukkan diri dengan Allah serta mengenal nama-nama, sifat-sifat dan hukum-hukum-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 31-32)


Keempat;  Orang Yang Mengenal Allah Selalu Mengingat Akherat

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan baginya balasan amalnya di sana dan mereka tak sedikitpun dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akherat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang mereka perbuat serta sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amal-amal, sebelum datangnya fitnah-fitnah (ujian dan malapetaka) bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang di pagi hari beriman namun di sore harinya menjadi kafir, atau sore harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan duniawi semata.” (HR. Muslim)

Kelima; Orang Yang Mengenal Allah Tidak Tertipu Oleh Harta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam itu memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan rongga/perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)

Keenam; Orang Yang Mengenal Allah Akan Merasakan Manisnya Iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman…” Di antaranya, “Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan lezatnya iman orang-orang yang ridha kepada Rabbnya, ridha Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim).

Ketujuh; Orang Yang Mengenal Allah Tulus Beribadah Kepada-Nya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab).

Demikianlah, sebagian ciri-ciri orang yang benar-benar mengenal Allah. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk termasuk dalam golongan mereka. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Malas Beraktivitas, Mungkin Anda Lalai dari Dzikir Pagi

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab dengan judul “Keutamaan tidak beranjak dari tempat shalat setelah shalat shubuh dan keutamaan masjid“.

Dalam bab tersebut terdapat suatu riwayat dari seorang tabi’in –Simak bin Harb-. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa dia bertanya kepada Jabir bin Samuroh,
أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Apakah engkau sering menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk?”

Jabir menjawab,
نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِى
أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ
“Iya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu para sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu mereka tertawa. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum saja.” (HR. Muslim no. 670)

An Nawawi mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran berdzikir setelah shubuh dan mengontinukan duduk di tempat shalat jika tidak memiliki udzur (halangan). Al Qadhi Husain mengatakan bahwa inilah sunnah yang biasa dilakukan oleh salaf dan para ulama. Mereka biasa memanfaatkan waktu tersebut untuk berdzikir dan berdo’a hingga terbit matahari.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/29, Asy Syamilah)

Membaca Dzikir Pagi Menjadi Kebiasaan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

Dari Abu Wa’il, dia berkata, “Pada suatu pagi kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud selepas kami melaksanakan shalat shubuh. Kemudian kami mengucapkan salam di depan pintu. Lalu kami diizinkan untuk masuk. Akan tetapi kami berhenti sejenak di depan pintu. Lalu keluarlah budaknya sembari berkata, “Mari silakan masuk.” Kemudian kami masuk sedangkan Ibnu Mas’ud sedang duduk sambil berdzikir.

Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Apa yang menghalangi kalian padahal aku telah mengizinkan kalian untuk masuk?”
Lalu kami menjawab, “Tidak, kami mengira bahwa sebagian anggota keluargamu sedang tidur.”
Ibnu Mas’ud lantas bekata, “Apakah kalian mengira bahwa keluargaku telah lalai?”

Kemudian Ibnu Mas’ud kembali berdzikir hingga dia mengira bahwa matahari telah terbit. Lantas beliau memanggil budaknya, “Wahai budakku, lihatlah apakah matahari telah terbit.” Si budak tadi kemudian melihat ke luar. Jika matahari belum terbit, beliau kembali melanjutkan dzikirnya. Hingga beliau mengira lagi bahwa matahari telah terbit, beliau kembali memanggil budaknya sembari berkata, “Lihatlah apakah matahari telah terbit.” Kemudian budak tadi melihat ke luar. Jika matahari telah terbit, beliau mengatakan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا
“Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami berdzikir pada pagi hari ini.” (HR. Muslim no. 822)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Menjadi Malas Beraktivitas Disebabkan Lupa Dzikir Pagi

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah orang yang gemar beribadah dan bukanlah orang yang kelihatan bengis sebagaimana anggapan sebagian orang. Kita dapat melihat aktivitas beliau di pagi hari sebagaimana dikisahkan oleh muridnya –Ibnu Qayyim Al Jauziyah.-

Ketika menjelaskan faedah dzikir bahwa dzikir dapat menguatkan hati dan ruh, Ibnul Qayim mengatakan,
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah suatu saat shalat shubuh. Kemudian (setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.” (Al Wabilush Shoyib min Kalamith Thoyib, hal.63, Maktabah Syamilah)

Di Antara Dzikir Pagi yang Ringan yang Bisa Rutin Dibaca


[1] Membaca istigfar sebanyak 100x: Astagfirullah wa atubu ilaih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَصْبَحْتُ غَدَاةً قَطٌّ إِلاَّ اِسْتَغْفَرْتُ اللهَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Tidaklah aku berada di pagi hari (antara terbit fajar hingga terbit matahari, pen) kecuali aku telah beristigfar pada Allah sebanyak 100 kali.” (HR. An Nasa’i. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 1600. Lihat Al Mu’jam Al Awsath lith Thobroniy, 8/432, Asy Syamilah)

[2] Membaca sayyidul istighfar 1x
Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Penghulu istigfar adalah apabila engkau mengucapkan,
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
[Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta, kholaqtaniy wa ana 'abduka wa ana 'ala 'ahdika wa wa'dika mastatho'tu. A'udzu bika min syarri maa shona'tu, abu-u laka bi ni'matika 'alayya wa abu-u bi dzanbi. Faghfirlii fa innahu laa yaghfirudz dzunuba illa anta] “Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” (HR. Bukhari no. 6306)

[3] Membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq, dan An Naas masing-masing sebanyak 3x
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِى وَحِينَ تُصْبِحُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ »
“Membaca Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlas) dan Al Muwa’idzatain (surat Al Falaq dan An Naas) ketika sore dan pagi hari sebanyak tiga kali akan mencukupkanmu dari segala sesuatu).” (HR. Abu Daud no. 5082. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Jika ingin mengetahui dan mengamalkan dzikir-dzikir pagi lainnya, silakan dilihat di kitab Hisnul Muslim (karya Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni hafizhohullah, sudah banyak diterjemahkan) atau buku Do’a dan Dzikir karya Al Ustadz Yazid bin Abdil Qodir Jawas hafizhohullah.
Semoga Allah menjadikan waktu pagi kita menjadi waktu yang penuh berkah. Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan yang bermanfaat di dalamnya.
***
Di pagi hari yang penuh berkah, 9 Rabi’ul Akhir 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Kaya Hati Itulah Kaya Senyatanya

Orang kaya pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih. Hatinya masih terasa hampa karena ada saja yang belum ia raih.

Coba kita perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Inilah nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah. Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dikencamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.

Sedangkan orang yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi. Orang seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha kerus untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah orang yang tidak kaya pada hakikatnya.

Intinya, orang yang kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.”
Perkataan yang amat bagus diungkapkan oleh para ulama:

غِنَى النَّفْس مَا يَكْفِيك مِنْ سَدّ حَاجَة فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ ذَاكَ الْغِنَى فَقْرًا

“Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (miskinnya hati).”[1]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati.”[2]

Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)

Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina(Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.[3]

Saudaraku ... milikilah sifat qona’ah, kaya hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Semoga Allah menganugerahkan kita sekalian sifat yang mulia ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Panggang-GK, 1 Jumadits Tsani 1431 H (14/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Majalah Pengusaha Muslim, dipublish ulang oleh www.rumasyho.com

[1] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/272, Darul Ma’rifah. [2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 7/140, Dar Ihya’ At Turots.
[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/41

Senin, 19 September 2011

UKHUWAH ISLAMIYAH




Tidaklah dua orang muslim berjumpa, lalu keduanya berjabat tangan, kecuali keduanya diampuni sebelum keduanya bepisah.” (H.R. Abu Daud)

Diriwayatkan oleh Imam Mlik dalam Al Muwatha’ dari abi Idris Al Khaulany rahimahullah bahwa ia berkata:

“Aku pernah masuk Masjid Damaskus. Tiba-tiba aku jumpai seorang pemuda yang murah senyum yang dikerumuni banyak orang. Jika Mereka berselisih tentang sesuatu maka mereka mengembalikan kepada pemuda tersebut dan meminta pendapatnya. Aku bertanya tentang dia, lalu dikatakan oleh mereka,’Ini Muadz bin Jabal.’ Keesokan harinya , pagi-pagi sekali aku dating ke masjid itu lagi dan kudapati dia telah berada di sana tengah melakukan shalat. Kutunggu ampai dia selesai melakukan shalat kemudian aku temui dan kuucapkan salam kepadanya. Aku berkata,’Demi Alloh aku mencintaimu. Lalu ia bertanya.’Apakah Alloh tidak lebih kau cintai?’ Aku jawab,’Ya Alloh aku cintai’. Lalu ia memegang ujung selendangku dan menariknya seraya berkata,’Bergembiralah karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw, berabda,”Alloh berfirman, cinta-Ku pasti akan mereka peroleh bagi orang yang saling memadu cinta karena Aku, saling mengunjungi karena Aku, dan saling memberi karena Aku.”

MAKNA UKHUWAH ISLAMIYAH

Kata ukhuwah berakar dari kata kerja akha, misalnya dalam kalimat “akha fulanun shalihan”, (Fulan menjadikan Shalih sebagai saudara). Makna ukhuwah menurut Imam Hasan Al Banna: Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah.

Hakekat Ukhuwah Islamiyah:

1.Nikmat Allah (Q.S. 3:103)

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."

2.Perumpamaan tali tasbih (Q.S.43:67)

"Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: ""Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku""."

3.Merupakan arahan Rabbani (Q.S. 8:63)

dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

4.Merupakan cermin kekuatan iman (Q.S.49:10

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Perbedaan Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Jahiliyah:

Ukhuwah Islamiyah bersifat abadi dan universal karena berdasarkan akidah dan syariat Islam
Ukhuwah Jahiliyah bersifat temporer (terbatas waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan akidah (missal:ikatan keturunan orang tua-anak, perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi)

Peringkat-peringkat ukhuwah:
Ta’aruf adalah saling mengenal sesama manusia. Saling mengenal antara kaum muslimin merupakan wujud nyata ketaatan kepada perintah Allah SWT (Q.S. Al Hujurat: 13)

Tafahum adalah saling memahami. Hendaknya seorang muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus ia tunaikan.

Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda, “Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa menutupi aib di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim)
Ta’awun adalah saling membantu tentu saja dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran


Hal-hal yang menguatkan ukhuwah islamiyah:

1. Memberitahukan kecintaan kepada yang kita cintai
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “ Ada seseorang berada di samping Rasulullah lalu salah seorang sahabat berlalu di depannya. Orang yang disamping Rasulullah tadi berkata: ‘Aku mencintai dia, ya Rasullah.’ Lalu Nabi menjawab: ‘Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?’ Orang tersebut menjawab: ‘Belum.’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Beritahukan kepadanya.’ Lalu orang tersebut memberitahukan kepadanya seraya berkata: ‘ Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.’ Kemudian orang yang dicintai itu menjawab: ‘Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.”

2. Memohon didoakan bila berpisah
“Tidak seorang hamba mukmin berdo’a untuk saudaranya dari kejauhan melainkan malaikat berkata: ‘Dan bagimu juga seperti itu” (H.R. Muslim)

3. Menunjukkan kegembiraan dan senyuman bila berjumpa
“Janganlah engkau meremehkan kebaikan (apa saja yang dating dari saudaramu), dan jika kamu berjumpa dengan saudaramu maka berikan dia senyum kegembiraan.” (H.R. Muslim)
4. Berjabat tangan bila berjumpa (kecuali non muhrim)
“Tidak ada dua orang mukmin yang berjumpa lalu berjabatan tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (H.R Abu Daud dari Barra’)

5. Sering bersilaturahmi (mengunjungi saudara)

6. Memberikan hadiah pada waktu-waktu tertentu

7. Memperhatikan saudaranya dan membantu keperluannya

8. Memenuhi hak ukhuwah saudaranya

9. Mengucapkan selamat berkenaan dengan saat-saat keberhasilan

MANFAAT UKHUWAH ISLAMIYAH
1. Merasakan lezatnya iman
2. Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi)
3. Mendapatkan tempat khusus di surga (Q.S. 15:45-48)

Di antara unsur-unsur pokok dalam ukhuwah adalah cinta. Tingkatan cinta yang paling rendah adalah husnudzon yang menggambarkan bersihnya hati dari perasaan hasad, benci, dengki, dan bersih dari sebab-sebab permusuhan
Al-Qur’an menganggap permusuhan dan saling membenci itu sebagai siksaan yang dijatuhkan Allah atas orang0orang yang kufur terhadap risalahNya dan menyimpang dari ayat-ayatNya. Sebagaiman firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Ma’idah:14

Ada lagi derajat (tingkatan) yang lebih tinggi dari lapang dada dan cinta, yaitu itsar. Itsar adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas kepentingan diri sendiri dalam segala sesuatu yang dicintai. Ia rela lapar demi kenyangnya orang lain. Ia rela haus demi puasnya prang lain. Ia rela berjaga demi tidurnya orang lain. Ia rela bersusah payah demi istirahatnya orang lain. Ia pun rela ditembus peluru dadanya demi selamatnya orang lain.
Islam menginginkan dengan sangat agar cinta dan persaudaraan antara sesama manusia bisa merata di semua bangsa, antara sebagian dengan sebagian yang lain. Islam tidak bisa dipecah-belah dengan perbedaan unsure, warna kulit, bahasa, iklim, dan atau batas negara, sehingga tidak ada kesempatan untuk bertikai atau saling dengki, meskipun berbeda-beda dalam harta dan kedudukan.


Maraji’ :
- Super Mentoring Panduan Keislaman untuk Remaja
Novi Hardian & Tim ILNA Learning Center
- Masyarakat Berbasis Syari’at Islam
Yusuf Qardhawi

Kamis, 01 September 2011

Gelora Ilahi Indahnya Bersyukur

"Nabi Saw, berdiri (ibadah) hingga kedua telapak kakinya membengkak, lalu beliau ditanya, ‘Allah sudah mengampuni dosamu yang berlalu maupun yang akan datang…’ Maka Nabi Saw, bersabda, ‘Bukankah aku adalah hamba yang sangat bersyukur?’"

Hadits mulia ini menjelaskan disiplin terhadap penegakan kewajiban ubudiyah secara total dan maksimal bagi orang yang punya akal sehat. Sedangkan Pangeran Agung dan Rahasia mulia Nabi besar Muhammad Saw,  yang telah menjadi rahasia semesta dan sekaligus menjadi induk dari semesta wujud, menjadi pusat antara makhluk dan Khaliq, tetap disiplin menegakkan ubudiyahnya walapun kedua telapak kakinya yang mulia itu membengkak. Bagaimana dengan kita semua? Sungguh jauh wahai orang ‘arif! Karena itulah curahkan tekadmu dalam rangka mengikuti jejak Rasul yang agung, Shollalluhu alaihi wasallam, leburkan dirimu secara total dalam sehari semalam seribu kali, dan anda setelah itu terbatasi. Ubudiyah adalah sifat sejati sang ‘arif.
Anak-anak sekalian. Allah Swt telah menyebutkan karakter para Sufi dalam kitab-kitab para Nabi, dimana Allah Swt, berfirman: “Hambaku… BersamaKu-lah engkau menemuiKu. BersamaKu-lah antara diriKu dan dirimu ada ikatan cinta. BersamaKu-lah engkau menjadi ahli khidmah padaKu. BersamaKu-lah engkau mengingatKu dan memuji padaKu. BersamaKu-lah engkau merasa nikmat berdzikir kepadaKu. BersamaKu-lah engkau mampu melihat WajahKu di akhirat. HambaKu, dirimu hanya untukKu. Ruhmu hanya bagiKu. Hatimu hanya bagiKu, dan seluruhmu hanya untukKu. Engkau berikan seluruhmu, maka Aku berikan seluruhnya padamu. DiriKu total bagimu.”

Dalam suatu hadits dijelaskan, Allah Swt, memberi wahyu kepada Nabi Dawud as,:
Hai Dawud, siapakah yang memanggilKu, lantas Aku memutuskan harapannya? Siapakah yang mengetuk pintuKu, lalu tidak dibuka pintu baginya? Akulah yang menjadikan harapan makhluk, bersamaKu, dan itu sepele bagiKu.

Hai Dawud! Apa alasannya hambaKu berpaling dariKu? Sedangkan Aku berkata, “Kemarilah padaKu….”.
Hai Dawud! Akulah tempat harapan. Akulah Yang Menjadikan sayap para perindu sebagai arahKu, dan menjadikan sayap-sayap rindu itu sebagai tempat pandangKu di muka bumi, lalu Aku berangkatkan kepadaKu hingga bertambah rindunya padaKu, dan bertambah dekat padaKu pula.

Hai Dawud! Berilah kabar gembira pada wali dan kekasih-kekasihKu, bahwa setiap saat Aku perlihatkan kemuliaanKu, kelembutan ciptaanKu dan kebaikan anugerahKu pada mereka, hingga mereka tak pernah melupakan DiriKu, dan tidak bersenang hati pada selain Aku, sedangkan kerinduan mereka hanyalah padaKu, sampai mereka tak sabar untuk segera bertemuKu. Akupun telah membukakan pintu-pintu kemesraanKu, dan aku pun membuatnya rasa cinta bagi mereka sebelum mereka memanggilKu, serta aku memberi mereka sebelum mereka memintaKu.
Wahai Dawud, kabarkan pada manusia di muka bumi, bahwa Aku adalah Kekasih orang yang mencintaiKu, pendamping orang yang bermajlis denganKu, pemberi kemesraan kepada yang menyenangiKu, dan sahabat bagi yang mensahabatiKu, memberi kepatuhan pada orang yang taat padaKu, dan memilihkan orang yang memilihKu. Katakan pada hamba-hambaKu… “Kemarilah untuk bersahabat denganKu dan bermesraan denganKu, bergegaslah untuk mencintaiKu dan mendekat padaKu…”
Katahuilah wahai Dawud,  Aku jadikan lempung kekasihKu dari lempungnya Ibrahim sahabatKu, dari lempung Yahya penjernihKu dan Muhammad KekasihKu.
Hai Dawud, apakah ada seorang kekasih yang pelit pada yang dicintainya?
Wahai Dawud! Ingatlah, ketika kerinduan orang-orang terbaikKu untuk  segera bertemu denganKu serasa lama, sesungguhnya rinduKu pada mereka lebih dahsyat lagi. Ingatlah! Orang yang mencariKu pasti menemukanKu, tetapi siapa yang mencari selain Aku, pasti tidak akan pernah bertemu denganKu.
Sifal Al-Abrar

Wahai Dawud! Manakala yang menghimpit hambaKu adalah kerinduannya padaKu dan sibuk bersamaKu, Kujadikan rasa istirahatnya dan kelezatannya adalah dzikir padaKu, dan Aku pun asyik denganNya. Aku pun menyingkapkan hijab antara DiriKu dengan dirinya. Aku pun mencintainya dan Dia mencintaiKu. Bahkan ia tak pernah alpa dikala manusia sedang alpa.
Ia tak pernah lalai ketika manusia semua lalai. Tidak pernah bersendagurau dalam permainan ketika manusia sedang bersendagurau dalam permainan dunia. Sungguh merekalah orang-orang terbaik (Al-Abraar).

Wahai Dawud! Bila engkau mencariKu, pasti engkau dapatkan Aku, dan urusan duniamu Kucukupi, Aku pun tidak menuntut hak padamu. Tetapi jika engkau mencari selain Aku, maka Aku sibukkan dirimu dengan ikhtiar dunia, dan Aku menuntut hak padamu.
Wahai Dawud! Sesungguhnya  kecintaanKu hanya bagi orang yang tak pernah melupakan DiriKu (senantiasa dzikir) dengan lisan dan qalbunya, karena sesungguhnya tiada suatu yang berkurang dibanding kealpaan dan kelupaan padaKu.

Wahai dawud! Bila engkau ridho padaKu, Aku pun ridho padam. Bila engkau hanya butuh padaKu, Aku pun mengkhususkan kebutuhanmu. Dan bila engkau syukur padaKu maka Kujadikan dirimu sebagai raja dunia akhirat.
Wahai Dawud! Siapa yang tidak sabar atas cobaanKu, tidak bisa berangkat kepadaKu.
Wahai Dawud! Apabila Aku mencintai hambaKu, maka Aku penuhi qalbunya dengan rasa takut padaKu dan rindu bertemu denganKu, bersemangat taat padaKu.

Wahai Dawud! Sungguh para waliKu itu ada dalam bangunanKu, tak ada yang kenal mereka kecuali wali-waliKu. Maka sangat berbahagialah para waliKu, sangat berbahagialah para kekasihKu.
Wahai Dawud! Aku tak pernah melupakan orang yang melupakanKu, bagaimana mungkin Aku melupakan orang yang mengingatKu?

Wahai Dawud! Aku Maha Derma pada orang yang bakhil padaKu, bagaimana Aku tidak bakhil pada orang yang dermawan padaKu?
Wahai Dawud! Aku pun mencintai orang yang marah padaKu, bagaimana mungkin Aku marah pada orang yang mencintaiKu?
Wahai Dawud! Berilah kabar gembira pada orang yang memohon, “Sesungguhnya Aku Maha Pengasih dan Penyayang pada mereka.”
Wahai Dawud! Setiap sang kekasih sangat senang bila sendiri dengan kekasihnya. Sedangkan Aku terus memandang hati para kekasihKu. Katakan pada orang yang yang menikmati dzikir padaKu: “Apakah masih ada Tuhan yang lebih baik dibanding Aku?”
Wahai Dawud!  Siapa yang patuh padaKu berarti ia mencintaiKu, Aku bakal tempatkan di syurgaKu, dan akan Kuperlihatkan WajahKu. Dan siapa yang maksiat padaKu dan tidak mencintaiKu, akan Kumasukkan pada nerakaKu, dan kupakaikan padanya dendamKu.
Wahai Dawud! Demi kebesaranKu dan keagunganKu, tak ada yang bertetangga denganKu kecuali orang yang mencari persandingan denganKu.
Wahai Dawud! Dustalah orang yang mengaku mencintaiKu, ketika malam telah gulita ia justru tidur mendekur jauh dariKu.
Wahai Dawud! Siapa  yang mengenalKu, mengehendakiKu, dan siapa yang menghendakiKu ia mencariKu, dan siapa yang mencariKu akan menemuiKu, dan siapa yang menemuiKu, ia tidak pernah memilih kekasih selain DiriKu.
Wahai Dawud! Berilah kabar gembira kepada orang yang berdosa, sesungguhnya Aku Maha Pengampun, dan peringatkan pada orang yang sangat dekat denganKu bahwa Aku Sangat Pencemburu.
Wahai Dawud! Siapa yang menemuiKu ia pasti takut padaKu, maka Aku tak akan pernah menyiksa dengan api nerakaKu. Dan siapa yang bertemu denganKu dia pasti mencintaiKu dan Aku tidak akan susah dengan perpisahannya denganKu. Siapa yang mencintaiKu ia akan sangat malu padaKu, aku tidak membuatnya malu di hari ketika bertemu denganKu. 

 Wahai Dawud! SyurgaKu hanya bagi orang yang tidak putus asa dari rahmatKu, dan benciKu hanya pada orang yang berbuat suatu dosa, lalu ia bangga dengan dosanya di sisi PemaafanKu! Kalau toh Aku mempercepat siksa pada seseorang, maka yang paling dahulu Kusiksa adalah orang yang putus asa dari RahmatKu, dan kesegeraan itu bukan dari PerilakuKu. Lihatlah, Aku terus memandang KekasihKu bila malam telah tiba dengan kegelapannya, Aku jadikan matanya ada di hatinya, lalu mereka berbincang denganKu melalui bibir-bibir dzikirnya, dan mereka hadir dalam pembicaraan denganKu.
Wahai Dawud! Seandainya saja Aku tidak mengikat ruh para kekasihKu pada badan-badan mereka, pastilah arwah-arwahnya keluar bergegas rindu untuk segera menemuiKu.
Wahai Dawud! Diantara hamba-hambaKu ada yang sangat ahli dalam kebajikan, dan Kujadikan kebahagiaan dan kemesraan sebagai bagiannya. Sungguh bahagia mereka, dan sungguh sebaik-baik tempat kembali.

Diriwayatkan, bahwa Allah swt memberi wahyu kepada Nabi Yahya bin Zakaria, semoga sholawat dan salam bagi keduanya:
“Sesungguhnya Aku memutuskan atas DiriKu, bahwa tidaklah seorang seorang hamba dari para hambaKu  yang mencintaiKu, dimana Aku mengatahui dari hatinya, melainkan Aku telah menjadi pendengaran, penglihatan dan ucapannya. Lantas Aku membuatnya benci pada segalanya, dan Aku halangi kesenangan syahwatnya serta kenikmatan-kenikmatannya, kenyamanan hidupnya.
Setiap hari aku menjenguknya tujuh puluh ribu kali, dan setiap saat Aku tambahkan kenikmatan mencintaiKu, kemanisan bermesraan denganKu, dan Aku penuhi hatinya dengan cahaya dariKu, hingga ia melihatKu setiap saat, lalu Aku membelai kepalanya, kemudian Aku letakkan TanganKu di atas luka hatinya, hingga ia tak pernah mengeluhkannya. Aku pun mendengar gelora hatinya karena rindu membara untuk bertemu denganKu, disamping rasa takut jika putus denganKu, lalu dia berkata, “Benar sungguh bagiku, aku tak akan pernah tenang sebelum sampai kepadaMu wahai Tuhanku…!”


Sumber    : http://sufinews.com/index.php/Hadist-Sufistik/gelora-ilahi-indahnya-bersyukur.sufi

listen qur'an

Listen to Quran