Selasa, 15 November 2011

CINTA KEPADA ALLAH ( MAHABBATULLAH)

Sewaktu masih kecil Husain (cucu Rasulullah Saw.) bertaya kepada ayahnya, Sayidina Ali ra: "Apakah engkau mencintai Allah?" Ali ra menjawab, "Ya". Lalu Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?" Ali ra kembali menjawab, "Ya". Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai Ibuku?" Lagi-lagi Ali menjawab,"Ya". Husain kecil kembali bertanya: "Apakah engkau mencintaiku?" Ali menjawab, "Ya". Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, "Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?" Kemudian Sayidina Ali menjelaskan: "Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi Saw.), ibumu (Fatimah ra) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah". Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah Swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.

Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi'ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: "Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah Swt". Tentang cinta itu sendiri Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah Swt. Seorang mukmin pecinta Allah pastilah mencintai apa apa yang di cintai-Nya pula. Rasulullah pernah berdoa: "Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin."

Selanjutnya Rabiah -yang sangat terpandang sebagai wali Allah karena kesalehannya- mengembangkan konsep cinta yang menurut hematnya harus mengikuti aspek kerelaan (ridha), kerinduan (syauq), dan keakraban (uns). Selain itu ia mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan harus mengesampingkan dari cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari kepentingan pribadi (dis-interested). Cinta kepada Allah tidak boleh mengharapkan pahala atau untuk menghindarkan siksa, tetapi semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan apa yang bisa menyenangkan-Nya, sehingga Ia kita agungkan. Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahannya yang sempurna. Rumusan cinta Rabiah dapat di simak dalam doa mistiknya: "Oh Tuhan, jika aku menyembahmu karena takut akan api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu karena berharap surga, maka campakanlah aku dari sana; Tapi jika aku menyembahmu karena Engkau semata, maka janganlah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi."

Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).

Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu.

Bayazid Bustami sering mengatakan: "Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang di peroleh kekasih, meskipun itu sedikit." Kata-kata arif dari sufi pencetus doktrin fana' ini dapat kita artikan bahwa ciri-ciri seorang yang mencintai Allah pertama adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang identik dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pamannya: "Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa". Ciri kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya.

Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung.. "Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka "'(QS. 2: 46). Tentang kerinduan para pecinta terhadap Allah Swt., sufi besar Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam matsnawi sebagai kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari "alastu" sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat Allah Swt. dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Menurut Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah Swt. Menurutnya, ar-ru'yah (melihat Allah).merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Swt. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan "bodoh" dalam terminologi sufi dan mukmin pecinta.
"Shalat adalah mi'rajnya orang beriman" begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualitas shalat bagi para pecinta. Shalat merupakan puncak pengalaman ruhani di mana ruh para pecinta akan naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu dengan-Nya. 

Seorang Aqwiya (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa. Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata: "Ada hamba yang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan, itu ibadahnya budak, dan ada sekelompok hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah Swt, itulah ibadahnya orang mukmin". Seorang pecinta akan berhias wangi dan rapi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata para pecinta itu merupakan bentuk ungkapan kerinduan dan kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya dalam sholatnya.

Mencintai Allah Swt. bisa di pelajari lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat yang sama, pemahaman dan kecintaan kepada Allah ini kita manifestasikan ke bentuk yang lebih nyata dengan amal saleh dan akhlakul karimah yang berorientasi dalam segenap aspek kehidupan.
Ada sebuah cerita, seorang sufi besar bernama Abu Bein Azim terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang Malaikat yang sedang memegang sebuah buku. Abu Bein bertanya: "Apa yang sedang anda kerjakan?" Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan. Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan cemas ia melongok daftar itu, tapi kemudian ia gigit jari, namanya tidak tercantum di situ. Ia pun bergumam: "Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia". Esok harinya ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi. Abu Bein terkejut karena namanya tercantum pada papan atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun protes: "Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia". Malaikat itu berkata: "Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia".

Mencintai Allah bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannas ini pernah di tekankan oleh Nabi Saw. dalam sebuah hadits qudsi: "Aku tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia memberi makan fakir miskin dan shalat ketika orang-orang terlelap tidur". Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam cinta kemanusiaan yang lebih konkrit, misalnya bersikap dermawan dan memberi makan fakir miskin. Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah telah di contohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya. Bahkan karena cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan sebagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit saja untuk dirinya. Mencintai Allah berarti menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara saudara kita yang di timpa bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum dhuafa dan orang lemah yang lain. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah bersabda ketika ditanya sahabatnya tentang kekasih Allah (waliyullah). Jawab beliau: "Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan ruh Allah, bukan atas dasar pertalian kerluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri." Menurut Nurcholish Madjid, yang di tekankan dalam sabda Nabi tersebut adalah perasaan cinta kasih antar sesama atas dasar ketulusan, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

PUJI WANTO

Hati Yang Terbaik

Ali radhiallahu ‘anhu berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad,

يا كميل بن زياد القلوب أوعية فخيرها أوعاها للعلم احفظ ما أقول لك الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل نجاة وهمج رعاع اتباع كل ناعق يميلون مع كل ريح لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجئوا إلى ركن وثيق

“Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Camkanlah baik-baik apa yang akan kusampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari 3 kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yang kuat.” (Hilyah al-Auliya 1/70-80).


Hati yang Terbaik
Wasiat khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu ini, adalah suatu wasiat yang terkenal di kalangan para ulama yang menjelaskan kategori manusia.

Setelah beliau menjelaskan bahwa hati manusia itu adalah bagaikan wadah, maka hati yang terbaik adalah hati yang dipenuhi dengan ilmu. Hati yang dipenuhi oleh pemahaman terhadap Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka yang memahami Al Qur-an dan sunnah rasul-Nya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala untuk memperoleh kebaikan sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037).

Pada sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, rasulullah menyebutkan lafadz خيرا yang berarti kebaikan dalam bentuk nakirah (indefinitif) yang didahului oleh kalimat bersyarat sehingga menunjukkan makna yang umum dan luas. Seakan-akan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengatakan, jika Allah menghendaki seluruh kebaikan diberikan kepada seorang, maka Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang Dia pahamkan terhadap agama-Nya. Karena seluruh kebaikan hanya Allah berikan bagi orang-orang yang mau mempelajari dan mengkaji agama Allah ta’ala.

Dari hadits di atas juga, kita dapat memahami bahwasanya mereka yang enggan mempelajari agama Allah ta’a a, maka pada hakikatnya mereka tidak memperoleh kebaikan.
Oleh karenanya, imam Ibnu Hajr Al Asqalani Asy Syafi’i tatkala menjelaskan hadits di atas, beliau mengatakan,

مَفْهُوم الْحَدِيث أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَفَقَّه فِي الدِّين – أَيْ : يَتَعَلَّم قَوَاعِد الْإِسْلَام وَمَا يَتَّصِل بِهَا مِنْ الْفُرُوع – فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْر

“Konteks hadits di atas menunjukkan bahwa seorang yang tidak memahami agama, dalam artian tidak mempelajari berbagai prinsip fundamental dalam agama Islam dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia diharamkan untuk memperoleh kebaikan” (Fathul Baari 1/165).


Sang Alim Rabbani
Kemudian khalifah ’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu menerangkan bahwasanya manusia terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah عالم رباني seorang yang berilmu, mengajarkan, mendakwahkan dan menyebarkan ilmunya. Karena seorang alim rabbani adalah sebagaimana yang diterangkan oleh imam Mujahid rahimahullah ta’ala,

الرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره

”Ar Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia hal-hal yang mendasar sebelum mengajari mereka dengan berbagai hal yang rumit.” (Tafsir Al Qurthubi 4/119).

Maka, seorang rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmunya. Maka dialah seorang yang selayaknya kita ikuti. Dialah seorang yang berilmu dengan ilmu  yang benar yaitu yang berupa Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ilmu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh imam Asy Syafi’i rahimahullah

كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مُشْغِلَةٌ    إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَ عِلْمَ الْفِقْهِ قِي الدِّيْنِ
اَلْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا         وَ مَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَسُ الشَّيَاطِيْنَ

Setiap ilmu selain Al Qur-an akan menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih
Ilmu adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat ungkapan ‘Haddatsana’ (yaitu ilmu yang berdasar kepada wahyu)
Adapun ilmu selainnya, hal itu hanyalah bisikan syaithan semata (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).

Namun yang patut dicamkan oleh mereka yang berilmu adalah ilmu yang mereka ketahui dan ajarkan kepada manusia selamanya tidak akan bermanfaat hingga mereka mengamalkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مثل العالم الذي يعلم الناس الخير و ينسى نفسه كمثل السراج يضيء للناس و يحرق نفسه

“Permisalan seorang alim yang mengajari kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya (karena tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lilin yang menerangi manusia namun justru membakar dirinya sendiri.” (Al Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu nomor 10770 dengan sanad yang shahih).

Penuntut Ilmu di Atas Jalan Keselamatan
Jika kita bukan termasuk kategori yang pertama, maka hendaknya kita menjadi orang yang termasuk dalam kategori kedua, kategori yang beliau katakan sebagai متعلم على سبيل نجاة yaitu seorang yang mau belajar dan orang inilah orang yang berada di atas jalan keselamatan.
Maka benarlah apa yang beliau katakan, karena sesungguhnya seorang yang terus mau belajar adalah orang yang sedang meniti jalan menuju surga sebagaimana yang disabdakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim nomor 2699).

Maka seorang yang selalu belajar dan belajar, maka dialah على سبيل نجاة  orang yang berada di atas jalan keselamatan.

Hamajun Ra-a’ (Gembel yang Tidak Berguna)
Adapun orang yang selain kedua golongan ini. Maka hal ini adalah sesuatu yang memalukan dan sangat berbahaya.
Kata beliau mereka ini adalah orang-orang yang gembel dan tidak begitu berguna. Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki sifat mengikuti setiap orang yang berkomentar dan mengikuti kemana arah angin bertiup.
Artinya, siapa saja yang memberikan komentar kepadanya, maka dia akan mengikutinya tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Orang ini tidak memiliki pendirian, ketegasan sikap karena ia tidak memiliki ilmu. Maka dia adalah seorang yang bingung.

Maka beliau katakan bahwa orang ini layaknya seperti pohon yang mengikuti kemana arah angin bertiup. Itulah orang-orang yang tidak menjalani kehidupannya dengan cahaya ilmu, dengan cahaya firman Allah dan sabda rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang ini adalah orang yang tidak berada dalam posisi yang kokoh dan kuat sehingga ia adalah seorang yang cepat berubah dan tidak memiliki pendirian. Orang yang mengikuti apa saja yang dikatakan oleh orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Maka boleh jadi dan bisa jadi dia celaka dikarenakan hal tersebut.

Persis seperti kejadian yang terjadi di masa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada seorang yang terlempar dari untanya, maka kepalanya pun terluka. Namun pada malam hari, dia bermimpi sehingga dia memasuki pagi hari dalam kondisi junub. Akan tetapi ia tidak tahu bagaimana bersikap dikarenakan minimnya ilmu yang dia miliki. Akhirnya dia pun bertanya kepada orang yang berada di sampng kanan dan di samping kirinya. Apakah ia harus mandi untuk bersuci atau dia diperbolehkan bertayammum karena kepalanya terluka.
Ternyata dia bertanya kepada orang yang salah, sehingga dia memperoleh jawaban yang salah. Pihak yang ditanyai menyarankan bahwa dia tetap harus mandi karena tidak ada rukhshah (dispensasi) bagi dirinya.

Akhirnya orang ini pun mandi, dan ia pun meninggal. Karena ketidaktahuannya tentang suatu hal yang mendasar bagi seorang muslim, yaitu bagaimana cara seorang muslim harus bersuci, kapan dia harus mandi dan bertayammum, akhirnya … keadaan naas pun menimpanya.

Demikian pula, seorang yang tidak menuntut ilmu agama pada hakekatnya dia bagaikan jasad yang tidak bernyawa. Hal ini dikarenakan ilmu agama adalah nutrisi bagi hati yang menentukan keberlangsungan hidup hati seorang. Seorang yang tidak memahami agamanya, dia layaknya sebuah mayat meski jasadnya hidup.

Tidak heran jika al Imam asy Syafi’i rahimahullah sampai mengatakan,

مَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً          تَجَرَّعَ ذُلُّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ
وَ مَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ         فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ

Barangsiapa yang tidak pernah mencicipi pahitnya belajar
Maka dia akan meneguk hinanya kebodohan di sepanjang hidupnya
Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu di masa muda
Maka bertakbirlah empat kali, karena sungguh dirinya telah wafat (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).

Urgensi Menuntut Ilmu Agama
Wasiat Amir al-Mukminin, Ali radhiallahu anhu di atas pada dasarnya menghasung kita sebagai umat Islam untuk mempelajari agama ini dengan benar, karena diri kita sangatlah butuh akan ilmu agama ini.

Al Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,

الناس محتاجون إلى العلم قبل الخيز و الماء لأن العلم محتاجون إليه الإنسان في كل ساعة و الخبز و الماء في اليوم مرة أو مرتين

“Manusia sangat membutuhkan ilmu melebihi kebutuhan terhadap roti dan air, karena ilmu dibutuhkan manusia di setiap saat. Sedangkan roti dan air hanya dibutuhkan manusia sekali atau dua kali” (Al Adab asy Syar’iyyah 2/44-45).

Faktor yang membuat kita memahami urgensi menuntut ilmu syar’i di saat ini adalah jika kita mengamati realita keagamaan di sekitar kita. Jika kita mau mengamati, betapa banyak pada zaman sekarang orang-orang yang berbicara tentang agama Allah ini tanpa dilandasi dengan ilmu.

Mantan artis yang baru saja berkubang dengan kemaksiatan, kemudian merubah penampilan sehinga nampak shalih dijadikan ikon keshalihan dan dijadikan tempat bertanya mengenai permasalahan agama. Seorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara formal, tidak memiliki background pendidikan agama, tidak tahu bahasa Arab, tidak menghafal al Qur-an begitupula tidak tahu-menahu mengenai hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimintai pendapatnya dalam permasalahan agama.

Sungguh benar apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, beliau telah mensinyalir hal ini akan terjadi dalam sebuah haditsnya,

سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة . قيل وما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه ؛ يتكلم في أمر العامة

“Akan datang tahun-tahun yang dipenuhi penipuan. Pada saat itu, seorang pendusta justru dibenarkan dan seorang yang jujur malah didustakan. Seorang pengkhianat malah dipercaya dan seorang yang amanah malah dikhianati. Pada saat itu, ar-ruwaibidhah akan angkat bicara. Para sahabat bertanya, “Apa ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Ar-rumwaibidhah adalah seorang yang (pada hakekatnya) dungu, namun berani bicara mengenai urusan umat.” (Ash-Shahihah nomor 1887).

Begitupula jika kita menyimak firman Allah yang mencela kebodohan seorang terhadap agama-Nya, maka kita akan memahami bahwa setiap muslim dituntut untuk mengetahui perkara agama. Allah subhanahu wa 

ta’ala berfirman,

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٦)يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ


“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (Ar Ruum: 6-7).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

أي: أكثر الناس ليس لهم علم إلا بالدنيا وأكسابها وشؤونها وما فيها، فهم حذاق أذكياء في تحصيلها ووجوه مكاسبها، وهم غافلون عما ينفعهم في الدار الآخرة، كأن أحدهم مُغَفّل لا ذهن له ولا فكرة

“Maksudnya kebanyakan manusia tidak memiliki pengetahuan melainkan tentang dunia dan pergulatan serta kesibukannya, juga segala apa yang di dalamnya. Mereka cukup cerdas untuk mencapai dan menggeluti berbagai kesibukan dunia, tetapi mereka lalai terhadap urusan akhirat dan berbagai hal yang bermanfaat bagi mereka di alam akhirat, seakan-akan seorang dari mereka lalai, tidak berakal dan tidak pula memikirkan (perkara akhiratnya)”

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
>
والله لَبَلَغَ من أحدهم بدنياه أنه يقلب الدرهم على ظفره، فيخبرك بوزنه، وما يحسن أن يصلي

“Demi Allah, seorang dari mereka akan berhasil menggapai dunia, dimana ia bisa membalikkan dirham di atas kukunya, lalu dia mampu memberitahukan anda tentang beratnya. Namun dia tidak becus dalam mengerjakan shalat”

Dampak dari kebodohan terhadap agama Allah adalah berkurangnya keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang muslim yang ‘alim terhadap perkara agama akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang keridlaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya, dan begitupula ia akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang kemurkaan Allah sehingga ia dapat menjauhinya.

Berbeda halnya dengan seorang muslim yang tidak tahu perkara agama, karena ketidaktahuan dirinya dan sedikitnya ilmu agama yang ia miliki terkadang ia menerjang kemaksiatan, mendahulukan perkara-perkara yang tidak penting, atau rela menjual agamanya demi mendapatkan dunia. Dia tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah, sehingga terkadang orang yang jahil terhadap agama, akan menyembah Allah sekenanya saja, ia tidak terlalu mempedulikan apakah ibadah yang ia lakukan telah diterima oleh Allah.

Terkadang, dia beranggapan bahwa ibadahnya telah diterima, sehingga dirinya sangat minim untuk menginstropeksi berbagai amalan yang ia lakukan dan mengukurnya dengan barometer syari’at, dengan barometer yang ditetapkan oleh Allah ta’ala. Hal ini dikarenakan barometer yang ada pada dirinya telah terbalik.

Berdasarkan hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu agama merupakan sumber dari setiap kebaikan, sedangkan kebodohan terhadap agama ini merupakan sumber dari setiap keburukan.

Jika kita menyimak ayat-ayat Al Qur-an, maka kita pun akan menemukan bahwa berbagai bentuk kesyirikan –yang notabene adalah dosa terbesar- dan kemaksiatan bersumber dari ketidaktahuan seorang terhadap perkara agamanya. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)

“Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Rabb)” (Al A’raaf: 138).

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (٥٤)أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (٥٥

“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)” (An Naml 54-55).

Coba anda perhatikan kedua ayat di atas, bukankah permintaan Bani Israil kepada nabi Musa ‘alaihis salam agar dibuatkan sesembahan (berhala) dan tindakan homoseks kaum nabi Luth berangkat dari ketidaktahuan mereka terhadap agama? Oleh karenanya, nabi Musa dan Luth menyatakan bahwa mereka adalah kaum yang jahil!

Oleh karena itu, setiap orang wajib untuk menuntut ilmu agama. Siapa pun dia, apa pun profesinya wajib menuntut ilmu agama untuk menghadapi dan melepaskan diri dari berbagai fitnah yang akan dia temui di dunia.
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan umat beliau yang berjalan di atas sunnah beliau.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

Menghamba Kepada-Nya

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
Allah memiliki berbagai perintah yang wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya, memiliki takdir berupa musibah dan ‘aib (maksiat) yang ditetapkan atas para hamba-Nya, memiliki nikmat yang diberikan kepada mereka.

Ketiga hal ini, yaitu perintah, takdir, dan nikmat memiliki ragam penghambaan kepada-Nya yang wajib ditunaikan setiap hamba. Pribadi yang paling dicintai-Nya adalah yang mampu mengenal berbagai bentuk penghambaan dan mampu menunaikan hak-Nya dalam ketiga kondisi tersebut. Pribadi yang paling jauh dari-Nya adalah pribadi yang tidak tahu bagaimana bentuk penghambaan kepada-Nya dalam ketiga kondisi tadi.
  • Bentuk penghambaan terkait perintah-Nya adalah dengan melaksanakannya secara ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkait dengan larangan-Nya, yaitu dengan menjauhinya karena takut dan cinta kepada-Nya, karena mengagungkan-Nya.
  • Penghambaan kepada-Nya ketika ditimpa musibah adalah dengan bersabar atas musibah tersebut; kemudian ridha, yang tingkatannya lebih tinggi dari bersabar; kemudian bersyukur, yang tingkatannya lebih tinggi dari ridha. Semua itu akan terwujud apabila kecintaan kepada-Nya terhunjam kuat di dalam hati hamba, dan dia tahu bahwa musibah tersebut merupakan pilhan terbaik baginya, bentuk kebaikan dan kelembutan-Nya kepada dirinya, meskipun dia tidak suka terhadap musibah itu.
  • Penghambaan kepada-Nya ketika tertimpa kemaksiatan adalah dengan segera bertaubat kepada-Nya, berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan memohon ampunan dengan hati yang tercerai berai, karena tahu tidak ada yang mampu menghilangkan ‘aib tersebut melainkan Dia semata, tidak ada yang mampu membendung keburukannya selain diri-Nya. Dirinya tahu, apabila ‘aib tersebut dibiarkan, maka akan menjauhkan dirinya dari berdekat-dekat dengan-Nya, ‘aib tersebut akan melempar dirinya dari pintu-Nya. Dengan demikian, dia melihat ‘aib merupakan bahaya yang tidak dapat disingkap kecuali oleh -Nya, dan dia berkeyakinan bahwa ‘aib (maksiat) tersebut lebih berbahaya daripada penyakit fisik.
Sehingga dia adalah seorang yang meminta perlindungan dengan ridha-Nya dari kemurkaan-Nya, meminta perlindungan dengan pemaafan-Nya dari siksa-Nya, dirinya butuh dan berlindung kepada-Nya. Dirinya tahu apabila dia terlepas dari perlindungan-Nya, maka kemaksiatan dan aib yang serupa atau bahkan yang lebih buruk akan terjadi. Dirinya tahu tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari belenggu maksiat dan bertaubat dari hal itu, kecuali dengan taufik dan ‘inayah-Nya, semua hal itu berada di tangan-Nya, bukan di tangan hamba.

Dengan demikian, dia adalah seorang yang lemah, tidak berdaya untuk mendatangkan taufik bagi dirinya sendiri, tidak mampu mendatangkan ridha Tuan-nya tanpa izin, kehendak, dan ‘inayah-Nya. Dirinya adalah seorang yang butuh kepada-Nya, hina, miskin, menjatuhkan diri di hadapan-Nya, mengetuk pintu-Nya. (Dengan adanya maksiat itu dia memandang dirinya sebagai) orang yang paling rendah dan hina, sehingga dia sangat fakir dan butuh kepada-Nya, dia cinta kepada-Nya. (Dia tahu) tidak ada kebaikan pada dirinya, tidak pula kebaikan itu berasal darinya, yang ada adalah seluruh kebaikan adalah milik Allah, berada di tangan-Nya, dengan kehendak-Nya, dan berasal dari-Nya. Dia-lah yang mengatur nikmat, menciptakan, dan memberikan kepada dirinya disertai kebencian-Nya apabila dirinya berpaling, lalai dan bermaksiat kepada-Nya.

Maka, bagian Allah adalah pujian dan sanjungan, sedangkan bagian hamba adalah celaan, kekurangan, dan ‘aib. Dia memonopoli seluruh pujian dan sanjungan, Dia-lah yang menguasakan berbagai kekurangan dan ‘aib kepada hamba (apabila mendurhakai-Nya). Seluruh pujian hanya untuk-Nya, seluruh kebaikan berada di tangan-Nya, seluruh keutamaan dan nikmat hanya untuk-Nya.

Seluruh kebaikan berasal dari-Nya, seluruh keburukan berasal dari hamba. Dia memperlihatkan kasih sayang kepada hamba dengan mencurahkan nikmat kepada mereka, adapun hamba-Nya memperlihatkan kebencian kepada-Nya dengan bermaksiat kepada-Nya. Dia membimbing hamba-Nya, adapun hamba, dia curang kepada-Nya ketika berinteraksi dengan-Nya.
  • Adapun bentuk penghambaan ketika memperoleh nikmat adalah dengan terlebih dahulu mengetahui dan mengakui pada hakekatnya nikmat itu berasal dari-Nya; kemudian berlindung dengan-Nya, jangan sampai terbersit dalam hati tindakan menisbatkan dan menyandarkan nikmat tersebut kepada selain-Nya, meskipun hal itu merupakan sebab terwujudnya nikmat, karena Dia-lah yang menyebabkan dan memberikan pengaruh pada sebab tersebut. Sehingga dari segala sisi nikmat itu hanya berasal dari-Nya; kemudian memuji-Nya atas nikmat yang diberikan, mencintai-Nya atas nikmat tersebut; kemudian bersyukur atas nikmat tersebut dengan menggunakannya untuk ketaatan kepada-Nya.
Bentuk penghambaan yang tertinggi terkait dengan nikmat-Nya adalah memandang banyak nikmat-Nya yang sedikit dan memandang betapa kecil rasa syukur yang dia tunaikan atas nikmat tersebut. Dia meyakini bahwa nikmat tersebut sampai kepada dirinya, dari Tuan-nya, tanpa ada biaya yang dia keluarkan, tanpa ada perantara, dia tahu dirinya tidak berhak atas nikmat tersebut, karena nikmat itu pada hakekatnya hanyalah milik-Nya, bukan milik hamba.

Maka setiap nikmat bertambah, maka bertambah pulalah ketundukan dan kehinaan diri di hadapan-Nya, bertambah pula sikap tawadhu’ (rendah hati) dan cinta kepada Sang pemberi nikmat. Sehingga setiap kali Allah memperbarui nikmat baginya, maka akan timbul penghambaan, kecintaan, kekhusyu’an, dan kehinaan terhadap-Nya; setiap kali Allah mencabut nikmat itu darinya, maka setiap kali itu pula timbul rasa ridha; setiap kali dia berbuat dosa, dirinya akan segera bertaubat, hatinya tercerai berai di hadapan-Nya, dan meminta maaf kepada-Nya.

Itulah hamba yang cerdas, adapun hamba yang dungu adalah yang tidak mampu merealisasikan itu semua.

Waffaqaniyalahu wa iyyakum.


[Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 46-48]
Gedong Kuning, Yogyakarta, 20 Rabi’uts Tsani 1431.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

Di Depan Gerbang Kematian

Kematian, salah satu rahasia ilmu ghaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala. Allah telah menetapkan setiap jiwa pasti akan merasakannya. Kematian tidak pandang bulu. Apabila sudah tiba saatnya, malaikat pencabut nyawa akan segera menunaikan tugasnya. Dia tidak mau menerima pengunduran jadwal, barang sedetik sekalipun. Karena bukanlah sifat malaikat seperti manusia, yang zalim dan jahil.

Manusia tenggelam dalam seribu satu kesenangan dunia, sementara ia lalai mempersiapkan diri menyambut akhiratnya. Berbeda dengan para malaikat yang senantiasa patuh dan mengerjakan perintah Tuhannya. Duhai, tidakkah manusia sadar. Seandainya dia tahu apa isi neraka saat ini juga pasti dia akan menangis, menangis dan menangis. SubhanAllah, adakah orang yang tidak merasa takut dari neraka. Sebuah tempat penuh siksa. Sebuah negeri kengerian dan jeritan manusia-manusia durhaka. Neraka ada di hadapan kita, dengan apakah kita akan membentengi diri darinya ? Apakah dengan menumpuk kesalahan dan dosa, hari demi hari, malam demi malam, sehingga membuat hati semakin menjadi hitam legam ? Apakah kita tidak ingat ketika itu kita berbuat dosa, lalu sesudahnya kita melakukannya, kemudian sesudahnya kita melakukannya ? Sampai kapan engkau jera ?

Sebab-sebab su’ul khatimah
Saudaraku seiman mudah -mudahan Allah memberikan taufik kepada Anda- ketahuilah bahwa su’ul khatimah tidak akan terjadi pada diri orang yang shalih secara lahir dan batin di hadapan Allah. Terhadap orang-orang yang jujur dalam ucapan dan perbuatannya, tidak pernah terdengar cerita bahwa mereka su’ul khotimah. Su’ul khotimah hanya terjadi pada orang yang rusak batinnya, rusak keyakinannya, serta rusak amalan lahiriahnya; yakni terhadap orang-orang yang nekat melakukan dosa-dosa besar dan berani melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Kemungkinan semua dosa itu demikian mendominasi dirinya sehingga ia meninggal saat melakukannya, sebelum sempat bertaubat dengan sungguh-sungguh.

Perlu diketahui bahwa su’ul khotimah memiliki berbagai sebab yang banyak jumlahnya. Di antaranya yang terpokok adalah sebagai berikut :
  • Berbuat syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Pada hakikatnya syirik adalah ketergantungan hati kepada selain Allah dalam bentuk rasa cinta, rasa takut, pengharapan, do’a, tawakal, inabah (taubat) dan lain-lain.
  • Berbuat bid’ah dalam melaksanakan agama. Bid’ah adalah menciptakan hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasul-Nya. Penganut bid’ah tidak akan mendapat taufik untuk memperoleh husnul khatimah, terutama penganut bid’ah yang sudah mendapatkan peringatan dan nasehat atas kebid’ahannya. Semoga Allah memelihara diri kita dari kehinaan itu.
  • Terus menerus berbuat maksiat dengan menganggap remeh dan sepele perbuatan-perbuatan maksiat tersebut, terutama dosa-dosa besar. Pelakunya akan mendapatkan kehinaan di saat mati, disamping setan pun semakin memperhina dirinya. Dua kehinaan akan ia dapatkan sekaligus dan ditambah lemahnya iman, akhirnya ia mengalami su’ul khotimah.
  • Melecehkan agama dan ahli agama dari kalangan ulama, da’i, dan orang-orang shalih serta ringan tangan dan lidah dalam mencaci dan menyakiti mereka.
  • Lalai terhadap Allah dan selalu merasa aman dari siksa Allah. Allah berfirman yang artinya, “Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga). Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raaf [7] : 99)
  • Berbuat zalim. Kezaliman memang ladang kenikmatan namun berakibat menakutkan. Orang-orang yang zalim adalah orang-orang yang paling layak meninggal dalam keadaan su’ul khotimah. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al An’aam [6] : 44)
  • Berteman dengan orang-orang jahat. Allah berfirman yang artinya, “(Ingatlah) hari ketika orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan yang lurus bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan sebagai teman akrabku” (QS. Al Furqaan [25] : 27-28)
  • Bersikap ujub. Sikap ujub pada hakikatnya adalah sikap seseorang yang merasa bangga dengan amal perbuatannya sendiri serta menganggap rendah perbuatan orang lain, bahkan bersikap sombong di hadapan mereka. Ini adalah penyakit yang dikhawatirkan menimpa orang-orang shalih sehingga menggugurkan amal shalih mereka dan menjerumuskan mereka ke dalam su’ul khotimah.
Demikianlah beberapa hal yang bisa menyebabkan su’ul khotimah. Kesemuanya adalah biang dari segala keburukan, bahkan akar dari semua kejahatan. Setiap orang yang berakal hendaknya mewaspadai dan menghindarinya, demi menghindari su’ul khotimah.

Tanda-tanda husnul khotimah
Tanda-tanda husnul khotimah cukup banyak. Di sini kami menyebutkan sebagian di antaranya saja :
  • Mengucapkan kalimat tauhid laa ilaaha illallaah saat meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang akhir ucapan dari hidupnya adalah laa ilaaha illallaah, pasti masuk surga” (HR. Abu Dawud dll, dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil)
  • Meninggal pada malam Jum’at atau pada hari Jum’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim yang meninggal pada hari atau malam Jum’at pasti akan Allah lindungi dari siksa kubur” (HR.Ahmad)
  • Meninggal dengan dahi berkeringat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang mukmin itu meninggal dengan berkeringat di dahinya” (HR. Ahmad, Tirmidzi dll. dishahihkan Al Albani)
  • Meninggal karena wabah penyakit menular dengan penuh kesabaran dan mengharapkan pahala dari Allah, seperti penyakit kolera, TBC dan lain sebagainya
  • Wanita yang meninggal saat nifas karena melahirkan anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang meninggal karena melahirkan anaknya berarti mati syahid. Sang anak akan menarik-nariknya dengan riang gembira menuju surga” (HR. Ahmad)
  • Munculnya bau harum semerbak, yakni yang keluar dari tubuh jenazah setelah meninggal dan dapat tercium oleh orang-orang di sekitarnya. Seringkali itu didapatkan pada jasad orang-orang yang mati syahid, terutama syahid fi sabilillah.
  • Mendapatkan pujian yang baik dari masyarakat sekitar setelah meninggalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati jenazah. Beliau mendengar orang-orang memujinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Pasti (masuk) surga” Beliau kemudian bersabda, “kalian -para sahabat- adalah para saksi Allah di muka bumi ini” (HR. At Tirmidzi)
  • Melihat sesuatu yang menggembirakan saat ruh diangkat. Misalnya, melihat burung-burung putih yang indah atau taman-taman indah dan pemandangan yang menakjubkan, namun tidak seorangpun di sekitarnya yang melihatnya. Kejadian itu dialami sebagian orang-orang shalih. Mereka menggambarkan sendiri apa yang mereka lihat pada saat sakaratul maut tersebut dalam keadaan sangat berbahagia, sedangkan orang-orang di sekitar mereka tampak terkejut dan tercengang saja.
Bagaimana kita menyambut kematian?
Saudara tercinta, sambutlah sang kematian dengan hal-hal berikut :
  • Dengan iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan takdir baik maupun buruk.
  • Dengan menjaga shalat lima waktu tepat pada waktunya di masjid secara berjama’ah bersama kaum muslim dengan menjaga kekhusyu’an dan merenungi maknanya. Namun, shalat wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid.
  • Dengan mengeluarkan zakat yang diwajibkan sesuai dengan takaran dan cara-cara yang disyari’atkan.
  • Dengan melakukan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala.
  • Dengan melakukan haji mabrur, karena pahala haji mabrur pasti surga. Demikian juga umrah di bulan Ramadhan, karena pahalanya sama dengan haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, yakni setelah melaksanakan yang wajib. Baik itu shalat, zakat, puasa maupun haji. Allah menandaskan dalam sebuah hadits qudsi, “Seorang hamba akan terus mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadah-ibadah sunnah, hingga Aku mencintai-Nya”
  • Dengan segera bertobat secara ikhlas dari segala perbuatan maksiat dan kemungkaran, kemudian menanamkan tekad untuk mengisi waktu dengan banyak memohon ampunan, berdzikir, dan melakukan ketaatan.
  • Dengan ikhlas kepada Allah dan meninggalkan riya dalam segala ibadah, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah [98] : 5)
  • Dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya.
  • Hal itu hanya sempurna dengan mengikuti ajaran Nabi, sebagaimana yang Allah firmankan yang artinya, “Katakanlah, ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang” (QS. Ali Imran [3] : 31)
  • Dengan mencintai seseorang karena Allah dan membenci seseorang karena Allah, berloyalitas karena Allah dan bermusuhan karena Allah. Konsekuensinya adalah mencintai kaum mukmin meskipun saling berjauhan dan membenci orang kafir meskipun dekat dengan mereka.
  • Dengan rasa takut kepada Allah, dengan mengamalkan ajaran kitab-Nya, dengan ridha terhadap rezeki-Nya meski sedikit, namun bersiap diri menghadapi Hari Kemudian. Itulah hakikat dari takwa.
  • Dengan bersabar menghadapi cobaan, bersyukur kala mendapatkan kenikmatan, selalu mengingat Allah dalam suasana ramai atau dalam kesendirian, serta selalu mengharapkan keutamaan dan karunia dari Allah. Dan lain-lain
(dicuplik dari Misteri Menjelang Ajal, Kisah-Kisah Su’ul Khatimah dan Husnul Khatimah, penerjemah Al Ustadz Abu ‘Umar Basyir hafizhahullah). Semoga sholawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada sanak keluarga beliau dan para sahabat beliau
Penyusun ulang: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Pilihan Allah Itulah yang Terbaik

Imam adz-Dzahabi[1] dan Ibnu Katsir[2] menukil dalam biografi shahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan shahabat Abu Dzar, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat”. Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah: “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah Ta’ala) berlakukan (bagi hamba-Nya)”.
Atsar (riwayat) shahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama[3].

Dalam atsar ini shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat), karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untk tidak melanggar perintah Allah Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka”[4].

Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[5].

Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah I sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[6].

Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
- Bersandar dan bersarah diri kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya[7]. Allah berfirman:

{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq: 3).

- Ridha dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya dan ini merupakan sebab utama Allah Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutmaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[8].
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala[9].

- Takdir yang Allah Ta’ala tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya[10].

- Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata,”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[11].

- Orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya, maka jika diberi kekayaan dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah Ta’ala berfirman,

{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[12].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 7 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] Dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (3/262). [2] Dalam kitab “al-Bidaayah wan nihaayah” (8/39).
[3] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawa-id” (hal. 141).
[4] HSR al-Bukhari (no. 2988) dan Muslim (no. 2961).
[5] Lihat kitab “Fiqul asma-il husna” (hal. 81).
[6] HSR Muslim (no. 34).
[7] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “badaa-i’ul fawa-id” (2/766).
[8] HSR al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir) dan Muslim (no. 2675).
[9] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/312) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/53).
[10] Lihat keterangan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “’Uddatush shaabiriin” (hal. 149-150).
[11] Kitab “al-Aadaabusy syar’iyyah” (3/469).
[12] HSR Muslim (no. 2999).

Tak Lebih Berharga dari Sehelai Sayap Nyamuk!

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ ، وَجَنَّةُ الكَافِرِ

Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR. Muslim)

Dari Amr bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوالله مَا الفَقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَط الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ

Demi Allah. Bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika dibukakan kepada kalian dunia sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian pun berlomba-lomba dalam mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang terdahulu itu. Sehingga hal itu membuat kalian menjadi binasa sebagaimana mereka dibinasakan olehnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً ، وفِتْنَةُ أُمَّتِي : المَالُ

Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, sedangkan fitnah ummatku adalah harta” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian -dalam hal dunia- dan janganlah kalian melihat orang yang lebih di atasnya. Karena sesungguhnya hal itu akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat yang Allah berikan kepada kalian” (HR. Muslim)

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ

Sangat mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak didapatkan kecuali pada diri orang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia bersyukur. Dan apabila dia mendapatkan kesusahan maka dia akan bersabar” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْشَ الآخِرَةِ

Ya Allah tidak ada kehidupan yang sejati selain kehidupan akhirat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإنَّ الله تَعَالَى مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ

Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah ta’ala menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Maka berhati-hatilah dari fitnah dunia dan wanita” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُنْ في الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيبٌ ، أَو عَابِرُ سَبيلٍ

Jadilah kamu di dunia seperti halnya orang asing atau orang yang sekedar numpang lewat/musafir” (HR. Bukhari)

Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا في الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Ada apa antara aku dengan dunia ini? Tidaklah aku berada di dunia ini kecuali bagaikan seorang pengendara/penempuh perjalanan yang berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian dia beristirahat sejenak di sana lalu meninggalkannya” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi S.Si.
Artikel Muslim.Or.Id

Kejujuran Berbuah Bidadari

JUJUR adalah kata yang mudah diucap, namun sulit untuk didapat. Kejujuran seseorang akan menentukan gerak langkahnya dalam meniti jalan hidup untuk menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dikisahkan, seorang lelaki shaleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah (Irak). Sedang asik berjalan, tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh. Melihat apel merah yang tergeletak di tanah, Tsabit pun bermaksud mengambil dan memakannya, terlebih hari itu adalah hari yang panas dan ia pun tengah kehausan.
Tanpa berpikir panjang, diambil dan dimakannya apel tersebut. Akan tetapi, baru setengah apel tersebut masuk ke kerongkongannya, dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin dari pemilik apel tersebut. Dengan segera, ia pun ke kebun apel dengan niat hendak menemui pemilik apel tersebut dan memintanya menghalalkan buah yang telah dimakannya.

Di kebun itu, ia bertemu dengan seorang lelaki. Tsabit pun berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya." Orang yang ditemuinya menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanyalah penjaga yang ditugaskan merawat dan mengurus kebun milik majikanku." Dengan nada menyesal, Tsabit bertanya lagi, "Di mana rumah majikan Anda? Aku ingin menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Penjaga kebun itu memberitahu bahwa rumah pemilik kebun tersebut cukup jauh, bahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki akan menghabiskan waktu sehari semalam. Namun demikian, Tsabit tetap bertekad pergi, walaupun rumah orang yang dimaksud cukup jauh. Yang penting, apel yang dia makan dihalalkan.

Tsabit pun berjalan menuju rumah pemilik apel. Setibanya di rumah yang dimaksud, dia langsung mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam rumah, muncullah seorang lelaki setengah baya. Dia tersenyum ramah, dan berkata, "Apakah ada yang bisa saya bantu?" Sambil membalas senyum, Tsabit bertanya, "Betulkah tuan pemilik kebun apel yang ada di pinggiran kota Kufah?" Laki-laki tersebut menjawab, "Benar wahai anak muda. Memangnya ada apa dengan kebun aplelku?" Tsabit berkata lagi, "Wahai tuan, tadi saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah apel tuan yang jatuh dari pohonnya. Karena itu, maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu?" Lelaki tua di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat sebelum kemudian berkata, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit pun tercengang dengan jawaban lelaki tersebut. "Syarat apa yang harus saya penuhi?" tanya Tsabit. Lelaki tersebut menjawab, "Syaratnya adalah engkau harus mau menikahi putriku."

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu dan dia pun berkata, "Apakah hanya karena aku memakan setengah buah apelmu, sehingga aku harus menikahi putrimu?" Yang ditanya tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah melanjutkan dengan berkata, "Sebelum pernikahan dimulai, engkau harus mengetahui terlebih dahulu kekurangan-kekurangan yang dimiliki putriku. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu, ia juga seorang yang lumpuh!" Mendengar pemaparan pemilik kebun tentang putrinya, Tsabit pun terkejut. Dia termenung sejenak sebelum akhirnya menyetujui syarat tersebut. "Yang penting, setengah buah apel yang dia makan dapat dihalalkan," tekadnya dalam hati.

Tanpa menunggu waktu lama, pernikahan pun dilangsungkan. Setelah akad (nikah), Tsabit pun dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu. Tapi tak disangka, perempuan di hadapannya yang kini resmi menjadi istrinya tersebut menjawab salamnya dengan baik. Ketika masuk hendak menghampiri istrinya, sekali lagi Tsabit terkejut karena perempuan yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya. Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan tersebut. Dia berkata dalam hatinya, "Kata ayahnya dia perempuan tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamku dengan baik. Jika demikian berarti perempuan yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangannya. Mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya?"

Setelah Tsabit berhadapan dengan istrinya, ia memberanikan diri untuk membuka pembicaraan, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?" Perempuan di hadapannya tersenyum dan kemudian berkata, "Ayahku benar karena aku tidak pernah melihat segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah." Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?" Istrinya menjawab, "Ayahku benar karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat rido Allah." "Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" tanya perempuan itu. Tsabit pun menganggukkan kepalanya tanda meng-iya-kan pertanyaan istrinya tersebut. Selanjutnya perempuan itu berkata, "Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah. Aku juga dikatakan lumpuh, karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang penuh dengan maksiat."

Betapa bahagianya Tsabit, dia bukan hanya dikaruniai istri yang shalehah tapi juga cantik luar biasa.

Akhir cerita, Tsabit bin Ibrahim dikaruniai seorang putra shaleh yang kelak menjadi seorang ulama besar bernama Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit. Dia (Abu Hanifah) adalah seorang ulama atau imam yang berasal dari Kufah dan hidup pada abad ke-7 M. Sebagai ulama besar, ilmuanya menyebar ke seluruh pelosok dunia.

***

JUJUR adalah kata yang mudah diucap, namun sulit untuk didapat. Kejujuran seseorang akan menentukan gerak langkahnya dalam meniti jalan hidup untuk menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jujur adalah sumber segala kebaikan, sedangkan dusta adalah sumber segala malapetaka. Ketika seseorang telah berbuat jujur terhadap sesamanya, maka akan banyak orang merasa diuntungkan olehnya. Tetapi jika seseorang telah berbuat dusta, maka ribuan orang akan merasa dirugikan olehnya. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap bencana dusta, karena Rasulullah Saw. telah mengingatkan lewat sabdanya.

"Hendaklah kamu selalu berbuat jujur, sebab kejujuran membimbing ke arah kebajikan, dan kebajikan membimbing ke arah surga. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kejujuran sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan hindarilah perbuatan dusta. Sebab dusta membimbing ke arah kejelekan. Dan kejelekan membimbing ke arah neraka. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat dusta dan bersungguh-sungguh dalam melakukan dusta sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, Ali bin Abi Thalib berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya di surga ada kamar-kamar yang terlihat bagian luarnya dari dalamnya, dan bagian dalamnya dari luarnya." Kemudian seorang dusun berdiri dan berkata, "Ya Rasulallah, bagi siapakah kamar-kamar itu?" Rasulullah Saw. menjawab: "Bagi orang yang baik tutur katanya dan suka memberi makan kepada orang lain, terus berpuasa serta shalat di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur." (H.R. Tirmidzi)
Berbicara kejujuran (dalam bahasa arab disebut sebagai Ash-Shidqun), di sini penulis akan mengklasifikasikannya menjadi 5  macam, yaitu:

1. Shidq Al-Qalbi (jujur dalam berniat).
Hati adalah poros anggota badan. Hati adalah barometer kehidupan. Hati adalah sumber dari seluruh gerak langkah manusia. Jika hatinya bersih, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan manfaat. Tapi jika hatinya keruh, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan bencana. Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusaklah ia seluruhnya. Itulah qalbu (hati)." (H.R. Bukhari).

Itulah hati dan kejujuran yang tertanam dalam hati akan membuahkan ketentraman, sebagaimana firman-Nya,

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." (Q.S. Ar-Ra'd [13]: 28)

2. Shidq Al-Hadits (jujur saat berucap).
Jujur saat berkata adalah harga yang begitu mahal untuk mencapai kepercayaan orang lain. Orang yang dalam hidupnya selalu berkata jujur, maka dirinya akan dipercaya seumur hidup. Tetapi sebaliknya, jika sekali dusta, maka tak akan ada orang yang percaya padanya. Orang yang selalu berkata jujur, bukan hanya akan dihormati oleh manusia, tetapi juga akan dihormati oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70-71)

Hidup dalam naungan kejujuran akan terasa nikmat dibandingkan hidup penuh dengan dusta. Rasulullah Saw. bahkan mengkatagorikan munafik kepada orang-orang yang selalu berkata dusta, sebagaimana sabdanya, "Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berucap dusta, kala berjanji ingkar dan saat dipercaya khianat." (H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Shidq Al-'Amal (jujur kala berbuat).
Amal adalah hal terpenting untuk meraih posisi yang paling mulia di surga. Oleh karena itu, kita harus selalu mengikhlaskan setiap amal yang kita lakukan. Dalam berdakwah pun, kita harus menyesuaikan antara ungkapan yang kita sampaikan kepada umat dengan amal yang kita perbuat. Jangan sampai yang kita sampaikan kepada umat tidak sesuai dengan amal yang kita lakukan sebab Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang banyak berbicara tetapi sedikit beramal.

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (Q.S. Ash-Shaff [61]: 2-3)

Jadi, yang harus kita lakukan adalah banyak bicara dan juga beramal agar kita bisa meraih kenikmatan surga.

4. Shidq Al-Wa'd (jujur bila berjanji).
Janji membuat diri kita selalu berharap. Janji yang benar membuat kita bahagia. Janji palsu membuat kita selalu was-was. Maka janganlah memperbanyak janji (namun tidak ditepati) karena Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang selalu mengingkari janji sebagaimana dalam firman-Nya,

"Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (Q.S. An-Nahl [16]: 91)

Kita pun harus selalu membatasi janji yang kita ucapkan, baik kepada Allah maupun kepada manusia karena setiap janji yang kita ucapkan akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt.

"...Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya." (Q.S. Al-Israa [17]: 34)

5. Shidq Al-Haal (jujur dalam kenyataan).
Orang mukmin hidupnya selalu berada di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam jiwanya. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak hidup berada di bawah bayang-bayang orang lain. Artinya, kita harus hidup sesuai dengan keadaan diri kita sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, Rasulullah Saw. mengingatkan kita dengan ungkapan, "Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak diterimanya sama seperti orang memakai dua pakaian palsu." (H.R. Muslim). Dari ungkapan ini, Rasulullah Saw. menganjurkan kepada umatnya untuk selalu hidup di atas kenyataan dan bukan hidup dalam dunia yang semu.

 Sumber  : http://www.percikaniman.org/category/kang-ayat-muhlis/kejujuran-berbuah-bidadari

Sabtu, 12 November 2011

Allah Hadir di Tengah Aktifitas Kerja

Sang Amir berkata:"Siang dan malam hati dan Jiwaku bermaksud sungguh-sungguh melayani Allah. Tetapi karena tanggung jawab pada pekerjaanku, aku tidak punya waktu untuk beribadah."

Rumi menjawab: "Tanggung jawabmu itu juga merupakan pekerjaan yang dilakukan demi Allah, karena kamu bekerja untuk menciptakan kedamaian dan keamanan bagi negerimu. Kamu korbankan dirimu, hartamu, waktumu, sehingga hati beberapa orang akan terangkat begitu damai untuk mematuhi kehendak Allah.

Jadi, ini juga pekerjaan yang bagus. Allah telah mendorongmu untuk melakukan kerja semacam itu, dan

kecintaanmu yang besar terhadap apa yang kamu lakukan adalah bukti rahmat Allah. Akan tetapi, jika kecintaanmu pada pekerjaan melemah, ini akan menjadi pertanda anugerah yang ditolak, karena Allah hanya membimbing mereka yang layak melakukan sikap-sikap yang benar, yang akan berdampak pada peningkatan derajat spiritual."
Rumi kemudian memberikan contoh sebuah bak mandi yang panas. Panasnya berasal dari bahan bakar yang terbakar, seperti jerami kering, kayu bakar, tulang hewan, dll.

Dengan cara sama, Allah menggunakan penampakan luar setan dan kejahatan, meski sesungguhnya ini dimaksudkan untuk menjernihkan dan menyucikan. Seperti bak mandi, laki-laki atau wanita yang terbakar oleh kegigihan bekerja, menjadi tersucikan dan menjelma kemanfaatan bagi semua orang.

Demikian Maulana Jalaluddin Rumi dalam karya monumental, Fihi Ma Fihi, menggambarkan proses tercerahnya spiritualitas, justru dalam proses kerja. Satu hal yang selama ini dianggap terpisah, kerja adalah dunia, ibadah adalah akhirat. Dalam proses kerja, manusia ternyata mampu mendapatkan "pembakaran spiritual", sehingga setiap keringat yang menetes, telah melahirkan pembersihan, dan oleh karenanya penyucian jiwa, selayak laku ‘abid yang beribadah siang dan malam.

Hanya memang, hal ini sulit terjadi dalam kenyataan. Kesulitan terletak karena proses kerja itulah yang sering menjelma kesadaran palsu (false consciousness), dimana kita lupa dan asing dari diri sendiri, asing dari hakikat kehambaan.

Ini yang terjadi, sebab masyarakat kita terlanjur menempatkan kerja, an sich dalam hasrat ekonomi, sehingga kerja dan uang, yang sebenarnya merupakan alat, kini menjadi tujuan.

Apalagi masyarakat kita telah lama mengarah pada satu dimensi, one dimensional man, Herbert Marcuse bilang. Dalam keadaan itu, arah manusia hanya satu, yakni bagaimana menjalani hari-hari dalam rutinitas mesin besar bernama industrialisasi, dimana para pekerja menjelma sekrup yang memperkuat struktur mesin modernitas tersebut. Ini yang membuat manusia terasing dari dirinya, sehingga kita tidak lagi mampu bertanya, untuk apa semua ini? Untuk apa kerja? Untuk apa hidup? Dalam situasi seperti ini, memikirkan apalagi merasakan kehadiran Allah, menjadi sesuatu yang hambar. Apa manfaatnya bagi produktifitas kerja?

Segenap tanya tersebut akan kita cari jawab, bersama Dr. Kautsar Azhari Noer. Dosen tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta penulis dua buku; Ibn ‘Araby: Wahdatul Wujud dalam Perdebatan Kita (1995), dan Tasawuf Perenial (2003).

Beliau yang merasa mendapatkan "hadiah dari Ibn ‘Araby", karena sejak pertengahan tahun ini, telah didaulat sebagai Honorary Fellow pada Ibn ‘Araby Society, Oxford University. Sebagai penggali Ibn ‘Araby, Dr. Kautsar tentu memiliki pandangan menarik atas problem "absennya Allah di tempat kerja". Hal ini nyata, karena Ibn ‘Araby sendiri mengabarkan kepada kita tentang kesatuan Allah dan makhluk, yang saat ini cenderung dipisahkan oleh proses kerja tersebut. Demikian wawancara santai Cahaya Sufi dengan beliau.


Bagaimana sebenarnya cara kita bisa merasakan kehadiran Allah dalam proses kerja sehari- hari?
Spiritualitas itu bisa dilakukan di tempat kerja. Jadi praktik spiritual tidak hanya dilakukan ditempat khusus, seperti masjid, musholla, zawiyyah, dan kholwat, apalagi pergi ke gunung, menyepi. Karena Allah itu dekat, lebih dekat dari urat nadi. Wanahnu aqrabu min hablil wariid. Demikian maktub al-Qur’an. Kalau kita yakin Allah dekat, kita bisa merasakan kehadiran Allah dalam bekerja. Kalau orang merasakan kehadiran Allah dalam bekerja, dia akan menjalankan kerja sesuai keinginan Allah, dan tidak mungkin melakukan hal-hal yang tidak etis.

Sebenarnya Islam arahnya kesana. Jadi anta’budalloha kaannka taroohu fainlam takun taroohu fainnahu yarooka. Kalau saya mengartikan ibadah disana, bukan hanya ibadah mahdloh saja, tetapi apapun yang kita lakukan, kita selalu merasakan kehadiran Allah. Al-Qur’an juga mengatakan agar kita mengingat Allah dimanapun, ketika duduk, berdiri. Kuncinya disitu, sebab dzikir merupakan kunci dalam tasawuf. Karena tidak mungkin tasawuf tanpa dzikir, dan tasawuf sangat menekankan kehadiran Allah.

Permasalahannya, pemahaman masyarakat terhadap makna kerja yang bersifat homo economicus, jadi kerja ya hanya memenuhi kebutuhan ekonomi. Allah tidak terlibat.Bagaimana menanggulangi hal ini?
Ya tujuannya yang sudah salah. Kalau orang kerja tujuannya ekonomi semata, duniawi semata, sudah tidak benar menurut tuntunan al-Qur’an. Dimata saya, kita boleh bekerja mencari harta sebanyak-banyaknya, sejauh dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas spiritual. Atau dengan bahasa lain, ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Cuma orang kan sering lupa kepada yang memberi rezeki (al-Raziq) akhirnya dia hanya terbenam dengan kehidupan duniawi. Mungkin hal ini terkait dengan kesinambungan antara akal dan batin. Jadi selama ini, orang memaknai kerja itu akal, sementara dzikir itu batin, dan keduanya tidak bisa nyambung karena situasi kerja yang akal an sich.

Saya kira wilayahnya masing-masing ya. Dzikir dengan qalbu, karena dalam al-Qur’an, istilah yang ada ya qalbu. Jadi pengalaman spiritual wadahnya qalbu, bukan akal. Bukan berarti akal diabaikan, tetapi ditempatkan sesuai dengan kapasitas atau fungsinya, yakni untuk hal-hal yang empiris; fisika, biologi, penelitian ilmiah. Tetapi untuk persoalan metafisik, ya qalbu. Jadi jangan dipertentangkan.

Tapi seakan terpisah?
Tidak mesti dipisahkan, lain fungsi aja. Ada dua kata yang tak sama, memisahkan dan membedakan, ia berbeda tapi tak terpisah. Karena akal dan qalbu itu kemampuan kita. Artinya sama-sama anugerah Allah. Kalau akal tidak diragukan lagi sering dibicarakan dalam tasawuf. Ada hadist yang menyatakan, bumi dan langit tidak mampu memeluk Allah, tetapi akal hamba yang mukmin, mampu memeluk Allah. Nah sementara qalbu itu dari fi’il qollaba, berubah, bolak-balik. Ya tergantung, kalau hatinya baik, kualitas orang akan baik, kalau hatinya jahat, kualitasnya akan rendah. Dalam hubungan dengan Allah, yang berperan qalbu, iman. Dzikir itu qalbu, bukan akal. \[pagebreak]Nah bagaimana agar bisa dzikir dalam proses kerja? Baik dizkir ritual, maupun dzikir dalam artian bahwa kerja merupakan jalan mendekat kepada Gusti Allah.
Seperti saya katakan, orang bisa dzikir dimana saja dan Allah tidak jauh kan, lebih dekat dari urat nadi. Yunus Emre (w. 721 H/1321 M) penyair Sufi Anatolia, Turki yang merupakan pengikut Ibn Araby pernah bilang, "Jika Anda ingin mencari Allah, carilah didalam qalbumu". Nah itu nggak jauh-jauh kan. Jadi dimanapun dan kapanpun, baik kita sedang kerja di pasar, di kantor, Allah ada disitu. Kita bisa merasakan Allah disana. Tapi itu tergantung, ada nggak kemauan, karena yang penting, menjaga kesadaran kita akan kehadiran Allah. Menjaga kesadaran itu yang saya kira orang belum konstan berusaha.

Hal ini memang perlu dilatih, dan dimulai dari diri kita sendiri. Mungkin diperlukan pemahaman. Seperti pemahaman orang bahwa dzikir itu hanya di masjid, ingat kepada Allah hanya ketika sholat saja, padahal nggak seperti itu kan. Maka ada istilah sholat daim, itu sebenarnya bukan sholat ritual, tetapi sholat setiap detik sepanjang hidup. Jadi janganlah sholat hanya ketika sedang sholat, tetapi sholatlah sepanjang hidup. Selama ini hubungan kita dengan Allah putus, ketika kita selesai sholat ritual.

Bisa nggak dikatakan, bahwa yang memutus hubungan dengan Allah itu pekerjaan?
Ya, itu tergantung dari kesadaran dan kemauan kita. Karena sibuk dengan kerjaan, orang lupa dengan Allah. Seharusnya tidak seperti itu. Justru kita juga bisa ingat Allah ketika bekerja. Karena seperti saya katakan tadi, praktik keruhanian bisa dilakukan ditempat keramaian.

Jadi setiap kita melakukan sesuatu, selalu detak qalbu kita mengucapkan Allah, Allah, sehingga semuanya Allah, akhirnya kita ini nggak ada apa-apanya. Ketika Nabi Muhammad melempar musuh, bukan beliau yang melempar kan, tapi Allah yang melempar. Makanya orang-orang yang berbuat kebaikan melebihi yang wajib, Allah akan menjadi pendengarannya, penglihatannya. Ini artinya, kita harus menyadari bahwa semuanya Allah, kita ini nggak ada apa-apanya. Nah itu bisa kita lakukan ketika kerja. Ketika kita sedang nulis, yang nulis Allah, bukan kita. Buktinya, seandainya tangan kita diambil oleh Allah, ya udah, berhenti kan kita. Tapi jangan disalahpahami, ketika Anda yang berjalan, bukan Anda, tapi Allah yang berjalan. Tidak seperti itu. Coba ketika kita sedang jalan, nyawa kita dicabut Allah, maka stop kan jalan kita.

Apalagi kalau kita sadar seperti kesadaran Ibn Arabi, al-Hallaj, dan Abu Yazid al-Bustami, bahwa kita ini nggak ada, yang ada hanya Allah. Kita tidak lebih dari tajalli-Nya, dhzillun (bayangan) Nya. Mungkin paham seperti ini tidak dipahami oleh semua orang. Saya paham itu. Sama ketika orang memahami ayat, wamaa romaita idz romaita walakinnalloha roma, itu arahnya kesana. Jadi bukan kamu yang melempar, tetapi Allah yang melempar. Kamu itu tidak lebih dari madzhar-Nya Allah, tajalli, majla, tempat penampakan Allah, hakikatnya Allah, kita nggak ada apa-apanya.

Kalau bisa begitu, orang nggak akan pernah sombong. Sayang sikap egoisme kita terlalu besar. Disini ketika al-Hallaj mengucapkan Anna al-Haq, egonya hilang, yang ada Allah. Aku disitu bukan aku al-Hallaj, dia nggak ada. Tapi ini kan sulit dipahami masyarakat.

Nah terkait dengan kegiatan kita sehari-hari, saya kira seperti itu juga. Apapun yang kita lakukan, sebenarnya yang melakukan Allah, kita nggak ada apa-apanya.

Sebelum al-Hallaj mati, dia bilang, "Ya Allah ampuni mereka yang hendak membunuhku, karena mereka tidak mengerti. Mereka mencintai Mu. Maafkan mereka". Bukannya mengamuk dan memaki, tapi dia faham, seandainya mereka mengerti apa yang al-Hallaj alami, mereka nggak akan melakukan itu.

Apa proses tadi bisa dikatakan kholwat dalam kerja?
Saya tidak menyebutnya kholwat. Kalau kholwat memang menyendiri, ada yang 10 hari ada 40 hari. Itu memang khusus. Saya tidak sebut hal diatas kholwat. Tetapi orang bisa merasakan kehadiran Allah ditempat keramaian, tidak mesti ketika kholwat saja. Bahwa kholwat itu semacam baterai hendak diisi gitu lah. Mungkin untuk melatih, dan setelah kholwat itu diharapkan selamanya bisa meningkatkan kualitas keruhanian, karena hatinya selalu nyambung dengan Allah.

Terkait dengan pandangan miring terhadap zuhud?
Zuhud itu tidak berarti orang tidak makan, tidak punya isteri, tidak punya harta. Tapi maksudnya orang tidak dikuasai oleh hartanya, tidak dikuasai oleh apa yang dia miliki. Bahkan kalau sampai tingkat itu, dia bilang, "Aku nggak memiliki apa-apa". Karena semua milik Allah. Jadi mobil yang kita miliki, nggak dikatakan milik kita, tetapi milik Allah. Bahkan diri kita sendiripun milik Allah. Kita cuma menjaga amanah, titipan. Kalau sudah sampai titik itu, insya Allah orang nggak akan stress. Kita belum sampai kesitu kan, karena kita masih ingin memiliki.

Untuk mencapai kesana kan butuh hidayah?
Memang susah ya, yang penting berusaha. Ada yang bilang, kalau sudah sampai ke tingkat yang tinggi, itu memang anugerah dari Allah. Apalagi apa yang kita sebut ma’rifat, ilmu hudluri, dan sebagainya, itu anugerah. Bahkan cinta kepada Allah-pun anugerah dari Allah, Kalau Allah nggak memberi ya walaupun kita berusaha sampai mati, kita nggak akan dapat. Nah menurut saya, Allah akan memberikan anugerah itu kepada orang yang dianggap siap. Tapi biasanya orang siap itu kan sebelumnya sudah mengondisikan dirinya. Banyak berdoa, berbuat baik, selalu mendekatkan diri kepada Allah, sehingga anugerah nggak mungkin tiba begitu saja.

Tapi bisa saja yang kelihatannya tiba-tiba, tapi sebelumnya kita nggak tahu. Kan banyak riwayat aneh, misalnya Rahim ibn Adham, ketika ia berburu di tengah hutan, ada suara dari atas yang memerintahkan agar dia menjadi zahid. Kalau memang anugerah dari Allah ya susah dirasionalkan.

Nah banyak ilmuwan yang bilang, kerja khususnya di industri seperti Jakarta ini telah membuat orang teralienasi, asing dari dirinya sendiri. Bagaimana Bapak menanggapi hal ini?
Ya karena sibuk dengan pekerjaan, dia lupa dengan dirinya sendiri. Akhirnya dia terasing dari dirinya. Bukan hanya kerja, harta, jabatan, juga begitu kan. Pertanyaannya, yang jadi tuan siapa sih, kerja atau kita? Kadang kita diperbudak oleh kerjaan. Kalau orang sudah sibuk, ngurus dirinya sendiri juga sudah lupa. Dia kerja sampai lupa menjaga kesehatannya. Nah kita kadang diperbudak oleh sistem yang kita buat, cuma kita nggak sadar. Tapi kalau bicara sistem kan kolektif, tidak sendiri. Kolektif itu terkait dengan struktur kan.

Kita harus mengikuti struktur, masyarakat, dan budaya. Ya kita yang diperbudak oleh struktur, bukan kita yang mengendalikannya. (Arif)

Dr. Kautsar Azhari Noer -
Dosen Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sufinews

Sastra dan Sufi Menikmati Seratus Cinta Tuhan


KH. Mustofa Bisri - Kyai dan Seniman

“Bagaimana aku bisa menyanyi?
Aku tak mampu meski menyanyikan lagu duka
Aku tak bisa mengadukan duka pada duka
Mengeluhkan luka pada luka

Senar gitarku putus
Dan aku tak yakin mampu menyambungnya lagi
Dan langitpun seolah muak dengan lagu-lagu bumi yang sumbang

Ah maaf sayang, aku tak bisa lagi menyanyi
Bersamamu atau sendiri
Entah jika tiba-tiba Nabi Daud datang
Membawa seruling ajaibnya..”


Bait sajak diatas, adalah sesobek luka dari KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sajak Aku Tak Bisa Lagi Menyanyi. Sajak yang ditulis sebagai tangisan atas berisik burung-burung, mendendangkan apa saja, setelah merasa bebas merdeka (era Reformasi ’98) itu, sebenarnya merupakan kerinduan, dan cinta dari seorang kyai, penyair, dan kesendirian yang merasa asing sepi ditengah gejolak politik, yang membuatnya tak bisa menyanyi lagi.
Tentu bagi seorang hamba, kesendirian adalah saat teristimewa untuk “menyanyi” dengan-Nya. Ada melodi yang tiba-tiba mengalun, bersamaan dengan kesedihan manusiawi, dan tiba saja sang hamba ingat, trenyuh, dan rindu pada Khalik. Kenapa yang melintas Dia? Itulah anugerah bagi para penyair dan sufi. Erat sangat kaitan, antara cinta pada Yang Tak Terbatas, dengan lekuk goresan sajak, yang membuat para pembaca puisi tersebut, tiba saja terseret dalam kerinduan numinous itu.

Apakah memang selalu, bahasa sufistik membahasa dalam sajak? Apakah memang sastra bisa menjadi jalan bagi para penempuh, untuk lebih memperuncing rasa gundah transenden, rasa galau fitrah, sebagai makhluk yang tertitipi cinta Ilahiyah? Lalu bagaimana ketika sisi lain, Islam adalah agama hukum (religion of law), dimana penafsiran para sufi penyair sering menerobos batas fiqhiyah yang oleh para hakim diikat secara kuat dalam tekstualisme kitab suci? Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan budayawan dan Romo Yai, pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang tersebut.

Seperti kita tahu, sebagian sufi adalah penyair, dan sebagian penyair adalah sufi. Menurut Pak Yai, kenapa hal ini bisa terjadi?
Yang pertama karena spiritualitas, tasawuf itu kaitannya dengan ruh, jiwa, kalbu. Seni sastra kaitannya dengan dzau’, yang berkaitan dengan kalbu, ruh, dan jiwa. Ada kesamaan sumber disana, karena kebersihan para sufi, sehingga sebetulnya dia tidak njarak bersastra-sastra, tapi otomatis apa yang diucapkan menjadi sastra.

Jadi orang menjadi sastrawan dalam pengertian membuat karya sastra, tentu tidak lepas dari kepribadian si sastrawan itu sendiri.
Sastrawan yang hanya bergelimang dengan daging akan mengeluarkan sastra daging, tapi kalau orang yang bergelimang dengan kalbu, dia akan menciptakan karya yang kalbu.
Kedua, karya sastra itu hasil perenungan. Nah seorang sufi penggaweannya memang merenung. Dia merenungkan kekuasaan Allah, merenungkan sifat-sifat sampai hakikat Allah. Ketika sufi itu dalam keadaan sangat intens dalam perenungan itu, lalu muncullah desakan dari dalam untuk menciptakan karya sastra.
Sebab saya lihat seniman, baik sastra maupun lukis itu ada yang modelnya tidak dipikirkan tapi dia desakan dari dalam, sehingga pelukis seperti Affandi, kalau melukis tidak jam-jaman, menitan saja.
Jadi kayak orang zadab, jret-jret! Kadang pakai tangan, kadang di potlot catnya.
Ada Zawawi Imron, dia hanya menuliskan gejolak hatinya saja. Dan kalau para sufi hampir semuanya begitu, seperti Rabi’ah al-Adawiyah, itu gejolak hatinya saja yang dikeluarkan. Kerinduannya kepada Allah. Maka kalau kita lihat, Rabi’ah, Hassan Basri, Rumi, itu jalannya keindahan, dan yang direnungkan keindahan paling puncak yaitu Allah. Keindahan yang paling indah, pusat keindahan.

Itu kalau proses sastra sebagai akibat proses batin. Kalau sebaliknya bagaimana Pak Yai. Kalau seorang seniman, ia memang seorang penulis. Apakah memang proses penulisan itu menjadi wahana meditasi, jalan spiritual yang dengan sengaja dia jadikan jalan menuju kesufian?
Ada dua perbedaan ya. Ada orang yang didorong oleh kesufian lalu menciptakan karya sastra, seperti Rabi’ah, Rumi, dsb.
Ada yang penyair-penyair kepingin bersufi-sufi. Karena tertarik dengan dunia sufi, lalu dia sufi. Ada yang dia tidak sufi, tapi ternyata apa yang dia ungkapkan itu sufistik. Seperti kita baca sajak-sajaknya Sutardji Calzoum Bachri, waktu gendeng-gendengnya, sajaknya sangat sufistik.

Padahal saat itu dia minum arak, ya?
Lha iya. Saya tidak tahu apakah dia terpengaruh dengan bongso Abu Nuwas, penyair anggur yang kemabukan dengan Allah itu, metaforanya kemabukan biasa, ya khamr itu (menurut versi Sutardji, red). Jadi gambaran yang paling jelas, mabuk Allah ya dengan mabuk khamr, dimana orang mabuk itu lupa segala macam. Demikian pula mabuk Allah itu lupa segala macam. Dia hilang ingat, karena mabuk Allah. Abu Nuwas disebut penyair anggur karena metaforanya anggur saja, dia dikenal itu. Dimana kemudian belakangan dia menjadi sufi, karena dia mere-nungkan, memikirkan, kontemplasi tentang kemabukan itu dengan mabuk Allah. Lha sama halnya, kalau sastrawan sering bikin sajak sufi, lama-lama dia akan terpengaruh juga. Tapi kan tasawuf itu bukan ilmu, bukan ungkapan, pikiran, tapi laku.

Sehingga ada perbedaan antara orang yang bicara sufi, bicara spiritualitas, dengan orang-orang sufi. Para sufi boleh dikata, karya sastranya, kalau boleh dianggap karya sastra, itu dampak. Ada yang mungkin karena keahliannya dalam teknik perpuisian, dia bisa meniru Rumi, tapi akan tampak dari perilakunya. Kalau perilakunya tidak sufistik, berarti rekaan dalam karyanya, bukan penghayatan. Itu bisa kita rasakan. Misalnya kita baca karya Rabi’ah, ini bukan rekaan, lihat kamus, nggolek kata-kata yang indah, cari sajak yang pas, ya ndak. Tapi memang muncul tulus dari sanubari.

Kalau kaitan antara kesenian dengan tasawuf. Misalnya Sutardji, ia kan secara prinsipil tidak ahli tentang tasawuf, tetapi dari karyanya bisa kita lihat betul-betul mabuk Allah. Artinya, bagaimanapun juga jalan kesenian itu, dalam artian jalan spiritual tanpa melalui sebuah kaidah spiritualitas dalam Islam yang disipliner, juga banyak yang menjebak. Ada para sastrawan yang awalnya mencari diri, Tuhan, eksistensi, tapi mereka akhirnya terjebak pada nihilisme sekular.

Tapi orang seperti Sutardji punya dasar keislaman. Cuma dalam proses pencarian hakikat Allah, melalui liku-liku. Sekarang kalau anda lihat Sutardji, sholatnya tahajudnya, tidak pernah lagi minum-minum. Karena kalau dia ditanya, ngapain minum-minum, ya untuk mabuk. Nah dia berkata, “Saya sekarang ingat dosa saya saja sudah memabukkah, tidak perlu lagi minuman keras“, ha..ha..ha. Nah itu perjalanannya.

Tapi dia dituntut oleh pengertian yang lebih awal bahwa dia seorang muslim mempunyai Gusti Allah, dsb. Ini yang tidak cukup diterima seperti orang awam. Dah, cukup, kenal Gusti Allah itu Pengeran, habis itu sembahyang, selesai.
Dia dituntut oleh dirinya sendiri untuk mencari, sebenarnya apa Gusti Allah itu? Nah pencariannya yang intens itulah menciptakan puisi-puisi yang penuh dengan nuansa sufi. Jadi bukan ndak punya modal apa-apa.

Modalnya itu fitrah ya Pak Yai?
Dia memang dari keluarga muslim, orang Islam. Tapi dalam prosesnya kan macam-macam. Ada yang jadi bajingan dulu baru jadi ustadz, masuk penjara dulu baru jadi da’i, ada berandalan jadi wali. Kalaupun tidak muslim paling tidak dia beragama. Seperti Rendra puisinya sangat religius meskipun dia belum masuk Islam.

Kalau bicara soal puisi cinta, mahabbah. Kami baca beberapa puisi Pak Yai tentang mahabbah. Menurut pengalaman Pak Yai, bagaimana sich agar bisa menulis puisi yang cintanya itu betul-betul sudah melampaui daging, cinta terhadap Gusti Allah?
Jadi Tuhan itu kan memiliki seratus cinta. Satu diantara seratus itu dikasihkan makhluknya, dibagi cintanya itu kepada cintanya anak pada orang tua, cinta istri pada suami, cinta ayam sama kuthuknya, kuda dengan anaknya. Nah cinta kita diawali dengan mencintai ibu kita, istri, saudara, hamba-hamba Allah.
Lalu kita bisa bayangkan bagaimana cintanya Allah yang 99 itu? Satu saja dibagi sekian banyaknya sampai meluap-luap kayak gitu. Nah ini yang kadang tidak disadari kita. Kita yang hanya dibagi satu, seolah memiliki seluruhnya. Seperti orang yang nggegeri I’d jum’at, I’d sabtu, itu pikirannya mengidentifikasikan dirinya dengan Gusti Allah.

Seolah kalau dia ndak senang berarti Gusti Allah ya ndak senang, kalau gregeten berarti Gusti Allah gregeten, ha..ha..ha Nah ini yang ndak dimengerti.
Kalau untuk cinta, harus melalui pengenalan. Tidak kenal lalu cinta, itu namanya cinta Platonis atau al-hubbul ‘udzri, seperti cintanya Imam Busirri kepada Kanjeng Nabi itu hubbul ‘udzri, karena dia tak kenal Kanjeng Nabi sebelumnya. Maka kalau ingin cinta sejati harus pengenalan dulu. Baru setelah kenal, cinta kita bisa sejati. Tidak seperti umumnya orang Islam ini, mencintai Gusti Allah seperti dia mencintai isterinya yang tidak dia kenal, jadi dikawinkan orang tuanya begitu saja.

Cinta tapi ndak kenal. Suatu hari isterinya dibelikan rok span warna merah menyala, seharga satu juta. Sama isterinya dibuat ngelapi sepeda. Kenapa? Kan dia ndak kenal, bahwa isterinya itu paling ndak suka rok span merah menyala.

Maka Nabi kita mengenalkan Allah lewat perilakunya, al-Qur’an, mengenalkan supaya kenal. Terus kemudian orang-orang ini tambah lama kan tambah malas, terbiasa instan, akhirnya terus yang daging-daging saja, yang gampang.

Cintanya ya cinta daging, ibadahnya ibadah daging. Seperti sekarang orang yang menyatakan cinta kepada Allah, itu tidak berani mengatakan seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah, “Kalau aku menyembah Mu, memuja Mu karena takut neraka, masukkanlah aku neraka.

Kalau aku memuja Mu karena kepengen surga, haramkan surga bagiku”. Apa berani orang sekarang? Itu cinta yang luar biasa. “Tapi kalau aku mencintai Mu karena aku ingin menatap wajah-Mu, jangan halangi wajah-Mu dariku”. Jadi ini memang cinta luar biasa, tidak ingin surga, takut neraka, tapi karena betul-betul cinta ingin memandang Allah. Sekarang sekadar nulis saja orang ndak berani, kuatir nek temenanan, ha..ha..ha Tapi ia memang gandrung betul. Karena Rabi’ah pengenalannya dengan Allah sudah sangat-sangat pribadi.

Jika bait-bait puisi yang Pak Yai favorit, tentang cinta?
Itu, ya punya Rabi’ah yang sangat berkesan. Uhibbuka hubbain fil hawa wa hubbun liannaka ahlun lidzaaka. Saya mencintai Mu dengan dua cinta. Cinta karena Engkau memang seharusnya dicinta. Cinta karena, saya memang bergairah dengan Mu.

Ada puisi Rabi’ah yang menurut saya sangat luar biasa, dampak dari cintanya kepada Allah sehingga dia mencintai manusia seluruhnya sebagai hamba-hamba Allah. Dia mengatakan, “Ya Allah, nanti kalau di akhirat jadikanlah tubuh saya sedemikian besar, sehingga memenuhi ruang neraka. Agar tidak ada lagi seorang hamba Mu yang bisa dimasukkan kedalam neraka”. Itu luar biasa. Jadi dia ingin menutup neraka dengan badannya, supaya hamba-hamba Allah tidak ada yang masuk neraka. Itu lebih tinggi daripada yang dikatakan Imam Busyiri di Burdah. Ia menyatakan, La’alla rohmata robbihiina yaqshimuha ‘ala hasabil isyaani bil qisam. “Saya mengharap nanti, ketika Tuhan menghendaki rahmat, itu disesuaikan dengan dosa orang. Jadi yang dosanya banyak seperti saya, dapat rahmat banyak.” Itu artinya kan sama saja. Yang dosanya dikit dapat rahmat dikit, yang dosanya gede dapat rahmat gede. Akhirnya semua dapat rahmat. Itu karena jiwa cintanya kepada Allah, sampai mencintai sesama. Orang menyatakan cinta kepada Allah tetapi tidak cinta kepada hamba-Nya, sama saja bohong.

Islam dikenal sebagai agama hukum. Ini yang membuat bahkan di thariqah-pun ada pembatasan mu’tabaroh dan ghairu mu’tabaroh. Dari sini terkesan, pendekatan kaum mutashawwifin sering dianggap menyimpang dari alur hukum tersebut, selayak hukuman atas al-Hallaj dan Siti Jenar. Menurut Pak Yai, kalau ada, sampai dimana sich kesepatakan antara kedua pihak?

Al-taarikh yu’iidu nafsahu, sejarah itu mengulangi diri. Munculnya tasawuf itu karena maraknya kehidupan daging yang luar biasa. Yang bisa kita lihat, munculnya Rabi’ah, Hasan Bashori, Sa’id Abu Sayyid dsb, pada abad pertama ketika Dinasti Umayah begitu hebat. Dari sisi materi mereka hedonis, dari ilmu pengetahuan mereka hanya bicara saja soal hukum, pertentangan, bahtsul masail, segala macam luar biasa majunya. Dari sini muncul kegelisahan, kok hanya ngomong saja, pengetahuan saja, seminar saja, ngamalnya mana? Muncul dan ini kebablasan, sampai ada sufi yang ndak pakai syari’at, menjadi Kejawen itu, lalu muncul lagi ilmu pengetahuan, ini melupakan amal, maka muncul lagi. Sampai abad ke-21 ini disebut abad spiritualitas, muncul lagi sekarang. Karena orang muak dengan kehidupan materialis, muak dengan agama yang daging saja. Maka saya nglukis Dzikir Bersama Inul. Inul kan simbol daging yang paling daging, dan dzikir tidak bisa dengan daging thok. Nah yang orang lupa, ilmu seperti fiqh dsb itu muncul setelah Islam. Jadi Islam begitu hebat pengaruhnya sampai memunculkan banyak ilmu termasuk ilmu fiqh, ‘ardl, tafsir. Ini dampak dari Islam.

Orang yang kemudian ber-fiqh-fiqh, lalu kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun, setiap kelompok membanggakan dirinya sendiri. Yang fiqh membanggakan hebatnya fiqh, yang ahli tasawuf membanggakan tasawufnya meniadakan yang lain. Padahal Islam diatas itu semua. Islam tidak hanya fiqh, tidak hanya tasawuf, ia lebih luas dari itu. Lha Islam sendiri itu tidak ghoyah, tujuan. Islam itu menurut saya masih washilah. Lha tujuannya apa? Tujuannya Allah. Semua washilah, apalagi PPP, PKB, sak piturute, itu sangat washilah, NU-Muhammadiyah washilah. Kalau PPP, PKB itu ghoyah, kita ndak kemana-mana, memandang lain partai bukan orang. Kalau NU-Muhammadiyah kita anggap ghoyah, orang NU memandang Muhammadiyah, ora pati Islam. Kalau Islam kita anggak ghoyah, maka selain Islam tidak kita anggap hamba Allah. Padahal Allah memuliakan manusia itu, walaqad karromna bani aadam, semua, tidak pakai embel-embel.
Nah karena di nash di al-Qur’an, kullu hizbin bima ladaihim farihuun. Kelompok fiqh menganggap yang paling hebat ya fiqh. Yang anehnya, fiqh itu kan hukum, ketika berbicara fiqh dalam kaitan hukum agama, itu fanatik sekali, sehingga ketika kita bicara tentang hukum bernegara dan berbangsa, kita ndak begitu mengerti. Jadi ndak ada konsistensi. Kalau kita fanatik sama hukum, ya dijelaskan segala hal mengenai hukum. Karena memang, orang itu fanatik dan bangsa terhadap miliknya.
Kalau anda fiqh, ya fiqh yang paling pokok, ndak mau ya sudah.

Nah kembali kalau kita lihat, tujuan manusia kan mengenal Allah, ma’rifatullah, apapun itu.
Orang memang kadang lupa. Mengapa kita sholat? Itu dikitabnya sudah dibilang seperti itu, faridlotun. Akan berbeda yang sholatnya begitu, dengan orang yang sholat, “Karena saya ini hamba Allah, saya menyembah Allah”. Nanti ndak usah diapa-apakan akan ada begitu terus, sepanjang abad.
Zaman Harun al-Rasyid pengetahuan begitu hebat, tapi juga muncul tokoh-tokoh sufi yang hebat, sebagai perlawanan terhadap arus.

Muncul da’i besar, Syeh Abdul Qadir al-Jilani, dia memiliki dua belas ilmu. Karena perilakunya yang sufistik, maka dia lebih dikenal seorang sufi, ilmunya kalah. Kyai Hamid Pasuruan, karena kadung terkenal sebagai wali, maka keistimewaannya sebagai sastrawan terlupakan. Sebetulnya sejak awal di pondok, dia adiib, sastrawan, memiliki diwan, puisi berbahasa Arab, tapi kalah dengan kewaliannya tadi. Kebalikannya saya. Saya sebetulnya wali, tapi ketutupan, ha..ha.. ha.

Sumber: Sufinews

listen qur'an

Listen to Quran