Rabu, 20 April 2011
SEBUAH kerusakan terjadi tatkalah keburukan itu didiamkan oleh orang yang berilmu. Hal ini yang terjadi di kalangan Bani Israil dahulu. Seperti yang pernah diceritakan oleh Ibnu Mas’ud, Bani Israil kehilangan petunjuk ketika para ulamanya mulai melegalkan kemungkaran umatnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda: "Ketika kaum Bani Israil sudah terjerumus dalam berbagai kemaksiatan, para ulama mereka sesungguhnya telah memberi peringatan tentang larangan itu. Bani Israil tetap saja, dan para ulamanya tidak berusa lagi menghentikan perbuatan mereka itu. Kemudian alim ulama tadi berkawan dengan mereka dalam duduk, makan dan minumnya, tidak peduli lagi dengan larangan itu dan menyetujui kemungkaran yang dilakukan mereka.
Karana itu Allah lalu memberi rasa saling membenci hati di antara mereka (ulama dan kaum Bani Israil) serta melaknat mereka. Yang sedemikian itu adalah karana mereka telah melanggar aturan".
Kemudian Rasulullah SAW duduk dan bersandar, lalu meneruskan sabdanya: "Janganlah kamu seperti mereka. Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaan-Nya. Laknat itu pasti datang, sehingga engkau semua mengembalikan orang-orang yang berbuat kemungkaran itu kepada kebenaran yang sesungguh-sungguhnya." (HR. Turmudzi dan Abu Dawud).
Para ulama bani Israil itu terimbas kerusakan bahkan akhirnya jatuh di dalamnya, karena melegalkan kemaksiatan dan enggan menganjurkan perbuatan ma’ruf. Dari lisan dan perbuatan mereka itu tidak keluar kata-kata larangan sama sekali, sehingga para bani Israil kehilangan petunjuk (Maroh Labid Li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid Juz I hlm 287).
Pada mulanya para ulama itu telah memberi peringatan, akan tetapi mungkin mereka tidak istiqamah. Tapi justru lambat laun berkawan dan akhrinya membenarkannya. Itulah akibatnya jika ridla terhadap kemaksiatan dibiarkan terus dalam hati.
Seperti peringatan Rasulullah SAW bersabda:”Barangsiapa ridla terhadap perbuatan kaum, maka dia bagian dari mereka.”(HR. Ibn Hajar dalam Mathalib al-‘Aliyah). Ridla terhadap kemaksiatan saudara tidaklah dapat diartikan kita menyayangi mereka.
Ridla dalam bentuk ini justru bukan cinta tapi sebaliknya, yaitu membencinya. Tidak mungkin kita jerumuskan pada kerusakan orang-orang yang kita cintai.
Sebab tanda mencintai sesama itu dengan saling berwasiat kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. "Orang-orang mu'min lelaki dan orang-orang mu'min perempuan itu, setengahnya adalah kekasih setengahnya, kerana mereka memerintah dengan kebaikan dan melarang dari kemungkaran." (QS. al-Taubah: 71).
Etika Mencintai Saudara
Rambu-rambu Islam telah mengajarkan bahwa, hak dan kewajiban persaudaraan itu diikat oleh syari’ah. Dalam kitab Minhaj al-Muslim diatur etika persaudaraan yang didasari oleh rasa kemanusiaan dan keta’atan pada hukum. Di antara etika dan hak persaudaraan itu antara lain;
Pertama. Membantu dengan dana jika membutuhkan. Setiap saudara harus membantu saudaranya dengan dana jika saudaranya memerlukannya. Diriwayatkan, Abu Hurairah ra bahwa ia didatangi seseorang yang kemudian berkata, "Aku ingin bersaudara denganmu karena Allah, tahukah engkau apa hak persaudaraan?" Abu Hurairah berkata, "Tolong jelaskah hak persaudaraan kepadaku." Orang tersebut berkata, "Engkau tidak merasa lebih berhak atas dinarmu, dan dirhammu daripada aku." Abu Hurairah berkata, "Aku belum bisa sampai pada tingkatan itu." Orang tersebut berkata;”Kalau begitu, pergilah engkau dari sini”.
Kedua. Mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri, memeriksa kondisi saudaranya sebagaimana ia memeriksa kondisi dirinya, lebih mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri atau keluarganya atau anak-anaknya, menanyakannya setidaknya dalam setiap tiga hari.
Ketiga. Menjaga lisan dengan tidak membeberkan aib saudaranya. Tidak membongkar rahasianya, dan tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia diri saudaranya. Jika ia melihat saudaranya di salah satu jalan untuk satu kebutuhan, maka ia tidak menyuruhnya menyebutkan kebutuhannya tersebut, dan tidak berusaha mengetahui sumbernya.
Keempat. Menyeru saudaranya kepada kebaikan dengan lemah-lembut, melarangnya dari kemungkaran dengan lemah-lembut. Mengindari perdebatan yang mencelakakan. Mengeluarkan ucapan-ucapan yang kotor dan sebagainya.
Kelima. Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dan lisannya dengan memanggilnya dengan nama yang paling ia sukai, menyebutkan kebaikannya tanpa sepengetahuannya atau di depannya, menyampaikan pujian orang kepadanya sebagai bentuk keiriannya kepadanya dan kebahagiaannya dengannya, tidak menasihati berjam-jam hingga membuatnya gerah, dan tidak menasihati di depan umum karena hal mi mencemarkan nama baiknya.
Imam Syafi'i r.a berkata, "Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia, sungguh ia telah menasihatinya dengan baik, dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasihati saudaranya dengan terang-terangan, sungguh ia telah mencemarkan nama baiknya”.(Dikutip dari Minhaj al-Muslim).
Menjaga Agama
Jadi, etika mencintai saudara yang benar itu adalah tidak hanya menjaga harta dan jiwanya tapi juga agamanya. Inilah bentuk kasih-sayang yang sesungguhnya. Jika hanya harta dan jiwa yang kita relakan sementara agama tidak diindahkan, maka kita sesungguhnya itu belum berkasih-sayang yang sebenarnya. Bahkan bisa sebaliknya.
Maka, menasehati dalam masalah agama merupakan bentuk kasih-sayang yang benar. Membetulkan yang salah, dan memberi tahu kepada yang masih awam.
Nasihat agama yang utama yang perlu kita sampaikan kepada saudara kita adalah nasihat yang berhubungan dengan hal-hal takwa kepada Allah SWT dan perkara akhirat.
Seperti yang pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabatnya. Dari al-'Irbadh bin Sariyah r.a., katanya: "Kita semua diberi nasihat oleh Rasulullah SAW. berupa suatu nasihat sehingga karena mendengar nasihat itu semua hati kita menjadi takut dan semua mata dapat mengalirkan air mata." (HR. Tirmidzi dalam Riyadlu al-Shalihin hadis no. 700).
Menurut Imam al-Qurtubi, hubungan persaudaraan sesama muslim itu terbentuk dengan tiga faktor utama. Yaitu, dilandasi oleh rasa bersama seperti saudara senasab dalam kasih saying, kedua, tolong menolong dan saling membantu dan ketiga saling memberi nasehat agama (Khasyiyah al-Muwaththa dalam Kitab Khusnul Khuluq).
Faktor pertama dan kedua merupakan pilar yang didasari oleh rasa kemanusiaan. Sebagai satu darah dan satu jiwa. Dua aspek kemanusiaan ini kemudian disempurnakan dengan pilar ketiga, yaitu nasihat untuk menjaga agamanya.
Sebagai bentuk solidaritas yang memiliki jiwa yang disatukan oleh iman. Ketiga-tiganya saling menguatkan dan berkesinambungan. Jika pilar ketiga itu hilang, maka hubungan persaudaraan itu menjadi kecintaan yang semu.
Tiga pilar standar dalam persaudaraan itulah yang menjadi salah satu elemen pertanda kesempurnaan iman. Seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak beriman (yang sempurna) sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia mencintai untuk dirinya sendiri dari kebaikan” (HR. Bukhari).
Oleh sebab itu, termasuk bagian dari pilar ketiga adalah membenci perbuatan saudaranya untuk berbuat kemaksiatan. Yang dibenci bukan persoanalnya akan tetapi perbuatan buruk itu. Maka, kita mesti berusaha mengeluarkan perbuatan itu dari kemaksiatan. Hal ini semua menunjukkan, cinta dan benci itu mestilah karena Allahbukan atas ego pribadi.
Seperti ungkapan Rasulullah SAW: "Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyalitas karena Allah SWT dan saling memusuhi karena Allah SWT, cinta karena Allah SWT dan benci juga karena-Nya." (HR. Bukhari). Maka, cintailah saudara dengan nasihat agama dan menolongnya dari kesesatan. Wallahu a’lam bisshowab.*/Kholili Hasib
Sumber : http://www.hidayatullah.com/read/16496/20/04/2011/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar