Kata Arab kbusyu' berasal dan kata khasya'a yang artinya takut'. Misalnya, disebutkan dalam Alquran, "Wa-jah-wajah pada hari itu ketakutan (khasyi'ah)"
(Q.S. al-Ghasyiyah (88: 2). Kata khasyi'ah berarti hati yang di-penuhi
rasa takut; takut kepada Allah Swt. dan takut bila masa hidupnya tak kan
sempat untuk mengumpulkan bekal buat hari akhir nanti.
Khusyuk tidak sama dengan konsentrasi, karena konsentrasi lebih pada
pikiran. Khusyuk juga bermakna rendah, merunduk, atau tunduk. Orang
yang khusyuk dalam shalatnya berari orang yang menyadari sepenuhnya
hakikat dan tujuan salatnya. Dan Alquran menyebutkan kata khusyuk
tidak hanya berkaitan dengan shalat, tapi juga dengan berbagai aktifitas
kehidupan di dunia, misalnya Allah berfirman “Suara-suara itu khusyu dihadapan yang Maha Rahman (Q.S: Thaha [20]: 128). Disini, Tuhan menyatakan bahwa suara-suara itu tunduk dan diam.
Diayat lain Allah berfirman “Seandainya kami turunkan Al Quran diatas gunung, maka engkau akan dapati gunung itu khusyuk ..
(Al Hasyr [59]:21). Disini makna khusyuk tidak secara spiritual tapi
khusyuk secara lahiriah, yakni gunung itu menjadi diam, tunduk dan
runduk dihadapan Tuhan.
Dua Jenis Hati: 'Isyqi dan Khawfi
Khusyuk berkaitan erat dengan hati. Menurut para sufi, untuk meraih hati
yang khusyuk, pertama-tama harus melewati ilmu. Dalam konteks ini, kita
harus benar-benar memahami fiingsi hati ketika akan menghadap Allah.
Kaitannya dengan khusyuk, ada dua jenis kualitas hati: qalb 'isyqi (hati
yang rindu kepada Allah) dan qalb khawfi(hati yang takut kepada Allah).
Sebagian orang memperoleh kualitas kedua-duanya, sebagian lagi hanya
isyqi atau khawft saja, dan sebagian besar tidak memiliki kedua-duanya.
Hati yang rindu kepada Allah {isyqi) dan hati yang takut kepada-Nya
(khawft) ini sebenarnya mengejar salah satu sifat jamaliah dan jalaliah
Allah Swt. Kalau jamaliah itu sisi keindahan dan kasih sayang Allah,
maka jalaliah adalah keperkasaan dan keagungan Allah.
Hati yang penuh kerinduan (qalb 'isyqi) mengejar keindahan Allah
(Jamaliah). la merindukan untuk melakukan kebaikan, karena Allah
Mahabaik. Rindu tidak akan diperoleh tanpa ada cinta. Maka dalam tasawuf
ada yang dikenal dengan mazhab cinta. Mereka beribadah dengan cinta,
menghampiri Allah melalaui pintu kasih-Nya. Bagaimana mengembangkan rasa
rindu kepada Allah? Belajar mencintai Allah dan mencintai segala
sesuatu yang ber-hubungan dengan-Nya!
Cinta kepada Allah memiliki beberapa tingkatan. Menurut Ibn 'Arabi, cinta ada tiga macam: cinta natural, cinta supranatural, dan cinta ilahi.
Cinta natural tidak hanya dimiliki manusia. Hewan pun memilikinya.
Cinta ini seperti cinta kita terhadap orang yang berbuat baik kepada
kita. Cirinya bersifat sangat subjektif, karena kita mementing diri kita
sendiri. Kita pun mencintai Allah karena Dia limpahkan rezekinya kepada
kita. Bukankah seekor anjing mencintai tuannya lantaran setiap hari si
tuan memberi makan dan merawatnya?
Cinta spiritual tidak dimiliki hewan tapi hanya oleh manusia. Orang yang
mencintai dengan cinta ini tidak memikirkan kepentingan dirinya, tetapi
kepentingan yang dicintainya. Ini seprti seorang ibu terhadap anaknya
yang tanpa pamrih ia tidak pernah mengharap balasan, bahkan rela
menderita asal anaknya bahagia. Kita harus mengembangkan cinta seperti
ini kepada Allah, harus lebih dari hanya cinta natural. Misalnya Allah
menyuruh kita untuk menginfakkan harta kita maka kita melakukannya,
bukan untuk mengharap pahala melainkan mendambakan ridha-Nya. Cinta ini
tumbuh bersamaan dengan kesadaran betapa banyaknya anugerah Allah yang
telah kita terima. Apa pun yang kita lakukan tidak akan sebanding dengan
apa yang kita peroleh.
Cinta ilahi lebih dalam lagi. Dengan cinta ini, orang bukan hanya
mendahulukan kepentingan objek yang dicintai, tapi tidak lagi melihat
dirinya sebagai sesuatu yang ia miliki. Semua dilihat sebagai milik
Allah. Karenanya, tidak ada suatu aktivitas pun kecuali yang diinginkan
Allah. Menurut Ibn 'Arabi, jenis cinta ketiga ini tidak bisa
dibayangkan. Itulah cinta Nabi Muhammad saw. kepada Allah Swt. dan para
kekasih-Nya.
Untuk memperoleh kekhusyukan, kita mesti mengembangkan kualitas hati
yang penuh kerinduan kepada Allah. Sholat tidak lagi dipandang sebagai
sebuah kewajiban, melainkan sarana penjumpaan dengan Allah. Sehingga,
waktu shalat adalah saat-saat yang kita rindukan. Rasulullah bahkan
menyebut sholat sebagai lahan nyawanya. Dalam riwayat lain Rasulullah
bersabda: “Cahaya mataku adalah sholat (Qurratu ‘aini al sholah)
Diantara ciri-ciri rindu adalah suka “menyendiri” dengan kekasih.
Sekali-kali menyediakan waktu untuk berkhalwat-menjaga jarak dari anak
dan istri, duduk bertafakur dan berdzikir kepada Allah. Waktu yang
paling pas adalah di sepertiga malam terakhir. Maka itu sholat tahajud
dianggap sebagai salah satu media yang paling efektif mengangkat manusia
menuju Allah. Sebab saat itu dia sendirian (khalwat), hanya berduaan
bersama Allah. Imam 'Ali k.w. bermunajat, "Ya Allah, di tengah malam
ini, ketika semua orang mencari kekasihnya, ketika istri mencari
suaminya, anak-anak bersama ibunya, aku bangun mencari kekasihku yang
paling kasih, Engkau Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim."
Kalau seseorang dapat mengembangkan kualitas hati demikian, ia akan
meraih kedamaian. Dalam tasawuf di-kenal dengan uns, intimasi
(keakraban). Dia akan merasa akrab dengan Allah. Dia akan merasa bahagia
yang tak terkira ketika bersama Allah. Tidak hanya itu. Orang yang
mencapai maqam ini, doanya dikabulkan oleh Allah. Bahkan dalam hadis
qudsi, Allah menyatakan, "... bila ia melihat, Aku menjadi
penglihatannya; bila ia mendengar, Aku menjadi pendengarannya; bila ia
melangkah, Aku menjadi kakinya. Bila dia menghampiri-Ku sejengkal, Aku
me-dekatinya sehasta; bila ia menuju Aku dengan berjalan, Aku akan
datang kepadanya dengan berlari."
Intinya, kualitas hati yang 'isyqi tidak hanya meng-antarkan kepada
salat yang khusyuk, tetapi juga pada kehidupan yang damai dan merindukan
perjumpaan dengan Allah Swt. Allah berfirman, "Mohonlah pertolongan
kepada Allah dengan sabar dan salat. Sungguh salat itu berat sekali
kecuali bagi mereka yang khusyuk. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan berjumpa dengan Tuhan mereka dan kepada-Nya mereka kembali (Q.S. al-Baqarah [2]: 45).
Hati yang takut kepada Allah (qalb khawfi) mengejar keperkasaan dan
keagungan Allah (Jalaliah). Sebagaimana cinta, takut juga ada
tingkatannya. Pertama, takut yang paling rendah adalah takut kepada
ancaman Allah, seperti pembantu takut pada ancaman tuannya. Dalam
tingkat ini, salat dilakukan karena takut diazab Allah di alam kubur
atau takut tidak memperoleh rezeki di dunia. Kalau kita beribadah karena
takut akan ancaman siksa Allah, itu termasuk khauf yang positif.
Mesinya kita mempunyai takut seperti itu, tetapi itu tingkatan takwa
terendah.
Kedua, takut dalam pengertian hormat dan takzim terhadap orang yang kita
agungkan. Misalnya takut kepada kedua orang tua. Kita takut bukan
karena ancaman melainkan kita menghormati dan mentakzimkan mereka.
Demikian juga takut kepada kepada Allah, setidaknya takut karena memang
Allah Maha adil, Maha agung, dan sungguh jasanya tak terkira-kira.
Itulah takutnya orang-orang saleh. Dalam sejarah diceritakan bahwa
ketika Nabi mau salat, kadang-kadang tubuhnya bergetar, mukanya pucat
pasi dan sebagainya. Bukan karena beliau takut diazab oleh Allah, tapi
beliau memang melihat bahwa yang layak disembah demikian hanyalah Allah
Swt.
Ketiga, takut dalam arti kesadaran penuh bahwa Allah adalah
segala-galanya dalam dirinya. Oleh karena itu, ada sebuah doa yang
sering dibaca oleh Nabi:
Ya Allah perlakukanlah kami dengan rahmat-Mu, jangan perlakukan kami
dengan keadilan-Mu.
Makna doa ini sangat dalam. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan
kita dengan rahmatNya, dengan anugerah-Nya, bukan keadilan Nya, sebab
kalau Allah memperlakukan kita dengan adil , kita tidak akan bisa masuk
surga. Bayangkan, bagaimana mungkin kita bisa menghitung secara adil
limpahan rezeki dari Allah, sedangkan yang kita berikan sangatlah
sedikit.
Sejauh mana kita mensyukurinya? Apa yang kita berikan di jalan Allah
sangat kecil dibandingkan dengan yang Allah berikan kepada kita. Karena
itu, yang ditakuti oleh Nabi bukanlah ancaman Allah, melainkan
keadilan-Nya.
Jadi, untuk memperoleh khusyuk, kembangkan kualitas hati yang khawfi,
dengan menyadari sifat-sifat jalaliah Allah: Yang Maha Perkasa,
Mahaadil, Mahabesar, Maha-agung, dan sebagainya.
Dalam tasawuf disebutkan: Sesungguhnya di dalam jamaliah Allah ada
jalaliah'-Nya, dan di dalam jalaliah Allah ada jamaliah-Nya (inna ft
kulli jalalin jamalun wa fi kulli jamalin jalalun). Artinya, di dalam
sifat Mahaindah-Nya ada keperkasaan-Nya, dan di dalam sifat
Mahaperkasa-Nya ada keindahan-Nya. Keduanya bukanlah sifat yang
kontradiktif, tetapi saling melengkapi. Mana yang lebih dominan,
tergantung kualitas hati. Rasulullah saw. memiliki qalb 'isyqi (hati
yang rindu kepada Allah) dan qalb khawfi (hati yang takut kepada Allah)
sekaligus. Kita juga mesti menyeimbangkan antara keduanya. Dengan
demikian, kekhusyukan akan menjadi kenyataan.
Sumber : http://sufiroad.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar