Minggu, 12 Februari 2012

Kembali Jadi Manusia


Dr.  KH  A. Mustofa Bisri 



Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kehidupan sekarang ini sangat carut marut. Ini disebabkan banyak sudah manusia yang lupa akan qodratnya, sehingga mereka mencintai kehidupan yang penuh dengan tipu daya. Kehidupan manusia sebelum zaman ini tak luput juga dengan segala godaan. Bahkan di jaman Imam al Ghazali pun, para  manusia sudah mencintai dunia. Jika imam al Ghazali hidup di jaman sekarang, pastinya kitab yang beliau terbitkan pasti lebih keras, dan lebih sulit untuk kita terima. Kehidupan manusia sangat berlebih-lebihan yang penuh kepalsuan. Manusia sudah lupa kalau dirinya itu menjadi manusia.

Sebenarnya Islam itu sangat mudah jika para manusia tidak gila terhadap kehidupan dunia yang fana ini. Kenapa demikian, karena yang kita ikuti ajarannya adalah juga manusia. Rasulullah merupakan manusia yang paling ngerti manusia itu sendiri. Manusia yang paling memanusiakan manusia. Kenapa manusia sulit untuk mengikuti seorang manusia juga. Apakah kita ini bukan manusia?


Bagaimana seandainya mereka disuruh mengikuti para binatang, kuda misalnya itu kita bisa sakit semua  apalagi jika yang diikuti kera yang suka loncat kesana kemari. Nabi Muhammad adalah manusia yang paling manusia. Bahkan Allah  Swt, berfirman: “Katakanlah Muhammad, bahwa aku juga manusia seperti kalian.”
Dengan firman diatas, dimaksudkan bahwasanya Rasulullah Saw itu juga manusia seperti kita apa adanya. Punya rasa lapar, haus dan keinginan lainnya. Namun demikian beliau sangat mengerti kebutuhan yang diperlukan, tidak berlebih-lebihan.

Dalam bahasa jawa Rasulullah itu seorang manusia yang  undo usoh (mengerti kondisi ruhani) para sahabatnya. Kalau sekolah ibaratnya sekolahan dari paud, TK sampai  perguruan tinggi. Rasulullah sangat memahami  dengan pasti tingkatan-tingkatan manusia, mana yang tingkatan SD mana yang tingkatan SMP.
Rasulullah tahu persis tingkatan-tingkatan ini, sedang yang kita kaji ini (kitab Minhajul ‘Abidin) adalah tingkatan profesor  yaitu ilmu puncak ruhani. Yang sudah tidak takut lagi apa itu neraka dan tidak menginginkan apa itu surga. Yaitu sudah tidak tergoda lagi urusan dunia. Tapi kita saat ini, jangankan bidadari akhirat, bidadari dunia aja kita tidak kuat menahan. Rasulullah Saw,  tahu persisi kondisi jamaah dibelakang beliau. Hal ini dibuktikan  tidak ada  protes dari para sahabat, ketika  beliau mengimami jama’ahnya tidak ada yang mengeluh,  entah itu bacaan surah yang kepanjangan ataupun yang cepat.

Jangan berlebih-lebihan
Pernah jaman Baginda Nabi ada seorang sahabat dekat yang diutus menjadi duta ke Yaman, yaitu Muadz bin Jabal. Ketika mengimami jama’ah sholat, banyak jama’ahnya yang protes ke Nabi, “Ya Rasul , beliau ketika rokoaat pertama mengkhatamkan surah al-Baqarah, rokaat kedua mengkhatamkan surah an-Nisa’.” Ketika Muadz ditanya oleh Rasulullah,  Muadz membenarkan semua itu. Namun apa yang terjadi, Muadz bahkan malah dapat teguran oleh beliau.  Karena ada yang berprinsip bahwa semakin panjang bacaan dalam sholat semakin baik, namun ternyata tidaklah begitu ketika kita mengimami jama’ah.  “Kamu jangan bikin fitnah Muadz, kamu shalat diikuti oleh orang banyak ada yang tua, muda, ada yangg ditunggu pekerjaan dan macem-macem lainnya. Tapi kalau kamu shalat sendirian di rumah, kalau mau mengkhatamkan al-Qur’an silakan saja. Tapi kalo kamu berani menjadi imam, kamu harus mengerti siapa yang dibelakang kamu.”
Jadi mengikuti Rasulullah itu sangatlah enak, karena beliau adalah manusia yang mengerti akan manusia, dan memanusiakan manusia itu sendiri. Namun lambat laun seiring perkembangan jaman, yang namanya manusia itu sudah berubah, bahkan bukan seperti manusi lagi. Gara-gara hal sepele mertua membunuh mantunya,  anak membunuh orang tuanya, sudah tidak manusiawi lagi. Bahkan sekarang banyak pejabat yang mencuri harta rakyatnya, dengan bangganya.

Yang dinamakan manusia itu jikalau tangan kiri sudah megang minuman, tangan kanan megang roti. Coba ditawarkan pisang goreng, maka mereka akan mengucapkan terima kasih. Bagaimana tidak, lha wong tangan manusia itu cuman dua. Lain halnya jika monyet, tangan kiri megang pisang, tangan kanan megang jambu, ketika ditawari roti maka kakinya akan naik. Jadi kita bias melihat, bahwa sebenarnya disekeliling kita ini, ternyata banyak monyet-monyet berkeliaran. Hak-hak orang yang bukan miliknya dia rampas, sepereti serigala dan harimau.

Bersabarlah. Maka kita akan menjadi berat mengikuti kanjeng Nabi yang manusia itu, karena kita tidak terlalu manusia. Maka Imam Ghazali dan yang lain-lain, memberikan dosis tinggi untuk terapi kepada manusia yang sudah tidak manusiawi lagi. Diingatkan kembali, coba kita lihat sebuah pepatah yang berbunyi, “Lebih baik telur hari ini dari pada ayam besok pagi.”

Kenapa demikian, karena manusia tidak mau menunggu hari esok dengan sgala akal pikirannya. Iya kalo besok ayamnya dapat ditangkap, kalo ndak. Mending telur aja yang dimakan,yang keliatan di depan mata
Itu diibaratkan ketidak sabaran manusia dalam menunggu sesuatu. Menunggu ayam besok pagi saja sudah berat apalagi menunggu hari kiamat. Terlalu jauh untuk menunggu pahala yang telah dijanjikan. Jadi memang dibutuhka terapi ruhani tingkat tinggi untuk menyadarkan manusia betapa pentingnya sifat kemanusiaan itu harus tetap terjaga.

Perilaku bukan Asesoris
Kalau kanjeng Nabi itu diibaratkan muara, maka kita perlu melihat lagi ajaran-ajaran yang dibawa beliau secara kaffah. Bukan melihat pakian atau asesoris yang dikenakan oleh  beliau. Hanya orang-orang yang tidak mengerti kanjeng Nabi saja, yang mengira itu pakaian Nabi. Coba kita tengok pakaian para petinggi kaum quraisy, seperti Abu Jahal dan lain-lain. Mereka pun menggunakan jubah, sorban, bahkan jenggotnya pun dibikin panjang. Karena yang dikenakan itu merupakan pakaian atau kebudayaan nasional bangsa Arab.
Rasulullah Saw, merupakan manusia yang menghargai kebudayaan, tradisi itu sendiri, sehingga beliau berpakaian seperti itu. Tidak membikin pakain sendiri, meskipun beliau seorang Nabi. Jadi yang dimaksud itba’ kanjeng Nabi itu bukan dari pakaian dan berjenggot, melainkan dari perilkau beliau. Kenapa demikian, Abu Jahal pun juga berjenggot dan berjubah dalam berpakaian, sehingga bisa jadi yang berjubah dan berjenggot itu mengikuti  Abu Jahal, bukannya kepada kanjeng Nabi.

Terus apa yang membedakan antara Abu Jahal dan Kanjeng Nabi. Kalo kanjeng Nabi itu wajahnya tersenyum ramah, sedang Abu Jahal itu wajahnya keras (sangar). Maka tergantung pribadi masing-masing, kalo mau beritba’ kanjeng Nabi selain memakai jubah, wajah harusah tersenyum. Kalau wajah yang ditampilkan sangar, maka pastilah Abu Jahal yang menjadi panutan.
Ini bisa kita tengok sejarah. Pada masa Rasulullah Saw ketika ada sahabat yang mau curhat kepada beliau, ketika melihat wajah beliau yang cerah, rasa-rasanya beban yang menimpa mereka seakan-akan telah lenyap.  Maka beruntunglah kita yang terkumpul di sini, sehingga dapat mendengarkan pemahaman-pemahaman yang tinggi nilai hikmahnya.

Kalau kita mendengar kisah dari para sufi, maka kita akan dapat berubah perlahan-lahan kembali kesifat manusia kita. Sehingga kita bisa menjalani ibadah dengan benar. Siapapun bisa menjadi abid, tidak harus meninggalkan pekerjaan sehari-hari. Kadang manusia menganggap ahli ibadah itu haruslah hitam dahinya, padahal bukan sama sekali. Banyak sekali manusia yang hanya menurutkan hawa nafsunya. Sehingga tidak lagi mengindahkan Tuhannya, melainkan makhluq yang menjadi Tuhannya.

Dunia ini dahsyat sekali pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Surga itu kiri kanannya tidak menyenangkan, sedangka neraka itu kanan kirinya sangat menyenangka (huffatin nar bis syahawat), dan semua yang menyenangkan serta hawa nafsu itulah yang membikin manusia lupa. Oleh sebab itu Rasulullah mengingatkan kepada para manusia agar saling mengingatkan antar sesama. Sehingga tidak terjerumus dalam kesesatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

listen qur'an

Listen to Quran