Tentang ayat ini Ibnu Abbas mengatakan sebagaimana penuturan al 'Aufi, "Janganlah engkau menuduh seseorang dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentang kebenarannya". Sedangkan Muhammad bin al Hanafiyah mencontohkan bahwa yang dimaksud adalah larangan melakukan persaksian palsu. Qotadah berkata, "Janganlah engkau mengatakan “aku melihat demikian” padahal engkau tidak melihatnya, “aku mendengar demikian” padahal engkau tidak mendengarnya, “aku tahu demikian” padahal engkau tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menanyaimu tentang semua itu".
Kesimpulan dari uraian di atas, menurut Ibnu Katsir, adalah sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla melarang berkata-kata tanpa dasar ilmu namun sekedar praduga tanpa dasar…. Semua hal itu yaitu mendengar, melihat dan hati akan dimintai pertanggungjawaban pada hari Kiamat nanti. Seorang hamba akan ditanya tentang tiga hal tadi dan apa yang dilakukan oleh ketiganya. (Lihat Tafsir al Qur'an al 'Azhim hal 285, Syamilah).
Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda. "Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam". Imam Nawawi Rahimahullah berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba'in. Beliau menjelaskan, "Imam Syafi'i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara".
Sebagian ulama berkata, "Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara".
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-'Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, "Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan".
Beliau berkata pula di hal. 47, "Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.
Beliau menambahkan di hal. 49, "Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya".
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda. "Artinya : Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat".
Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi SAW kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW bersabda." Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?"
Perkataan Nabi SAW di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu'adz. "Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?"
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), "Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menuai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan".
Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), "Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya".
Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, "Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering saya dapati baik amalan-amalannya".
Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, "Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya".
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda. Artinya : "Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, 'Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. 'Beliau menimpali, 'Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka".
Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah SAW, yang akhirnya berbunyi. "Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya."
Akhirnya berhati-hatilah kita semua terhadap lisan yang mudah mentahdzir dan melecehkan saudara muslim yang lain karena manusia tentu tidak akan pernah luput dari kesalahan dan dosa, ingatkan saudara kita yang salah dengan teguran yang baik bukan dengan perkataan kasar dan menyinggung perasaannya sehingga berpecahlah hati dan retaklah jama’ah serta berujung pada permusuhan sehingga Allah Ta’ala membinasakan kita semua wal yaudzbillah. Wallahu’ Alam
Abdul Hafidz
Sumber : http://ddiijakarta.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar