LATIHAN 1
Setelah melakukan shalat, kita disunnahkan untuk berdzikir:
subbahanalllah, alhamdulillah dan Allahu akbar,
masing-masing 33 kali.
Sekarang lakukan dzikir, tetapi lafadznya diganti menjadi:
Allah, Allah, Allah,
sebanyak 33 kali.
Silahkan dimulai.
STOP
Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas.
Setelah selesai berdzikir sebagaimana Latihan 1, apa yang Anda rasakan?
Apakah ada rasa "seerrrr" di dada Anda?
Apakah Anda seperti mau menangis?
Apakah dada Anda terasa seperti bergetar?
Atau malah biasa saja rasanya? Tidak terasa apa-apa.
Simpan dulu jawaban Anda. Mari kita lanjutkan dulu pembahasan kita.
3 GOLONGAN MANUSIA
Pada setiap raka’at shalat, kita diwajibkan membaca surat Al Fatihah. Sadar atau tidak sadar, setiap kali kita membacanya, maka pada 2 ayat terakhir kita memohon kepada Allah:
"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
Seperti apa orang yang diberi petunjuk, orang dimurkai Allah dan orang yang tersesat dapat kita lihat pada surat selanjutnya. Surat Al Baqarah langsung membuka dengan membagi manusia menjadi 3 golongan, yaitu :
* Orang beriman (Al Baqarah : 2-5)
* Orang kafir (Al Baqarah : 6-7)
* Orang munafik (Al Baqarah : 8-20)
Masing-masing dilengkapi dengan ciri-cirinya serta akibat yang akan ditanggung oleh masing-masing golongan manusia tersebut
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al Baqarah [2]:2-5).
Orang beriman misalnya, ciri-cirinya adalah percaya kepada yang gaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rejekinya untuk bersedekah/zakat, percaya kepada kitab-kitab suci dan hari akhir. Mereka dinyatakan sebagai orang yang selalu mendapat petunjuk dan beruntung.
"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (QS. Al Baqarah [2]:6-7)."
Orang kafir cirinya adalah tidak bisa lagi melihat kebenaran. Diberi peringatan atau tidak sama saja karena Allah telah mengunci mata, pendengaran dan hati mereka. Dan bagi mereka siksa yang berat.
Diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang - orang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak tahu. ( QS Al - Baqarah (2) : 8-9 ).
Orang munafik dikatakan sebagai orang yang mengaku dia beriman, tapi sebetulnya tidak. Akibatnya, orang munafik ini lebih sulit dikenali. Jika untuk orang beriman hanya perlu
menggunakan 4 ayat dan orang kafir hanya 2 ayat, maka untuk orang munafik Al Qur’an memerlukan 13 ayat untuk menjelaskannya. Beberapa cirinya antara lain, mereka biasanya tidak sadar atas keburukan sifatnya sendiri, bahkan merasa dirinya yang lebih benar sehingga dapat menyesatkan orang lain. Mereka merasa lebih pintar dari orang beriman. Mereka suka mengolok-olok orang beriman. Akibat perbuatannya itu, Allah akan mengganjar mereka dengan siksa yang pedih.
Dari 20 ayat pertama di surat Al Baqarah, kita sudah dapat menilai seseorang dan juga diri kita sendiri termasuk pada golongan mana.
Selanjutnya ciri dan penjelasan tambahan untuk masing-masing golongan dapat ditemui pada bagian lain di Al Qur'an. Ciri-ciri yang dijabarkan tersebut akan semakin menambah kejelasan bagi kita untuk menilai setinggi apa keimanan kita saat ini dan sejauh mana kebenaran dari pelaksanaan peribadatan yang telah kita lakukan.
Contoh, jika seseorang mengaku beriman tetapi jarang melakukan shalat 5 waktu, termasuk golongan manakah dia? Salah satu jawabannya, bisa kita lihat di surat An Nisaa' [4] : 142 :
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali
Jika kita malas shalat, shalat karena ingin dilihat orang lain, atau lebih banyak memikirkan hal-hal selain Allah ketika shalat, maka sadarilah, bahwa diri kita telah menunjukkan ciri-ciri orang munafik. Waspadalah …. waspadalah ….. waspadalah.
MENGUKUR KADAR KEIMANAN
Sering kita merasa sudah menjadi orang yang beriman karena sudah sudah masuk Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat atau mempercayai apa-apa yang dinyatakan dalam rukun iman. Padahal keimanan harus dibuktikan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangannya.
Di dalam ayat-ayat Al Qur'an, banyak disebutkan perintah dan larangan yang harus ditaati agar kita menjadi orang yang beriman, misal:
- Harus berpuasa (Al Baqaran [2]: 183)
- Harus banyak berzikir. (Al Ahzab [33] : 41)
- Harus menjadi saksi yang adil (Al Maa'idah [5] : 8)
- Dilarang merendahkan orang (Al Hujuraat [49] : 11)
- Dilarang menyakiti orang yang diberi sedekah (QS Al Baqarah [2] : 264)
Ayat-ayat tersebut, umumnya diawali dengan kata panggilan, "Hai orang-orang yang beriman …". Jika perintah dan larangan tersebut diabaikan, maka bisa dikatakan kita tidak termasuk orang yang beriman, karena kita bukan orang yang terpanggil oleh ayat-ayat itu. Seberapa tinggi tingkat keimanan kita, dapat diukur dengan seberapa lapangnya hati kita mengikutinya. Orang yang tinggi imannya akan melaksanakan perintah dan larangan tersebut dengan senang hati. Mereka yakin, perintah dan larangan tersebut pasti sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri. Selanjutnya, perintah dan larangan tersebut akan menjadi sikap hidupnya sehari-hari. Orang yang lebih rendah imannya akan melaksanakan ayat-ayat tersebut karena takut dosa dan neraka. Dia akan melaksanakan ayat tersebut meskipun terasa tersiksa hidupnya. Sedang orang yang rendah imannya akan menganalisa dan melakukan banyak pertimbangan untung-ruginya, sebelum melaksanakannya. Dia memilih ayat-ayat yang menguntungkannya, seolah-olah
dia lebih pandai dari pada Allah dalam mengatur alam semesta.
Selain itu, ada juga ayat-ayat bukan berupa perintah atau larangan, tetapi banyak juga ayat-ayat yang menggambarkan suasana kejiwaan dan sikap orang yang beriman. Ayat-ayat tersebut juga penting kedudukannya dalam Al Qur’an, karena dengan bercermin kepada ayat tersebut, kita juga dapat mengetahui sampai dimana kadar keimanan kita. Apakah diri kita memiliki ciri seperti orang yang dijelaskan dalam ayat-ayat tersebut., misal:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS Al Ahqaaf [46] : 13)
Salah satu ciri orang beriman adalah tidak pernah merasa khawatir dan tidak pula berduka cita. Hidupnya selalu bahagia. Kebahagiaan itu sudah dirasakan sejak hidup di dunia hingga nanti diakhirat. Mereka sangat percaya kepada firman Allah yang tertulis di Al Qur'an. Mereka percaya, bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tidak mungkin Allah akan merugikan hamba-Nya. Mereka tidak pernah khawatir akan masa depan, karena tahu bahwa Allah telah menjamin rejekinya sejak lahir sampai mati nanti. Ketika masih menjadi bayi yang tidak mampu mengurus diri sendiri, Allah telah mengirimkan kepada kita orang-orang yang menyayangi kita. Memberi makan, memandikan, mengasuh, hingga kita mandiri. Lalu Allah memberikan kepandaian, kekuatan dan rejeki terus menerus hingga menjadi dewasa seperti sekarang ini. Setelah kita hidup dan menikmati rejeki dari Allah, kenapa kita masih saja tidak percaya bahwa Allah Maha Pemberi Rejeki?
Ketika terjadi musibah, orang beriman tidak berduka yang berkepanjangan. Mereka sabar dan tenang menghadapinya. Mereka percaya, bahwa ini adalah ketetapan yang terbaik dari Allah SWT, karena Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Karena itu mereka menunggu denan penuh harapan, kebaikan apa yang akan Allah berikan setelah musibah ini berlalu.
Dengan melihat ayat itu, maka jika kita selalu khawatir akan apa akan terjadi atau terlalu sedih dan menyesali terhadap sesuatu yang telah terjadi, hal itu menandakan ada sesuatu yang salah dalam keimanan kita. Kita belum sepenuhnya percaya, bahwa Allah mampu mengatur alam semesta dengan sempurna.
Sekarang marilah kita melihat lagi salah satu ciri dari orang yang beriman yang disebutkan dalam Al Qur’an :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS : Al Anfaal [8]:2).
Berdasarkan ayat tersebut, salah satu ciri orang beriman adalah jika disebut nama Allah maka hatinya akan bergetar. Apa yang Anda rasakan ketika melakukan Latihan 1 tadi? Apakah hati Anda bergetar? Mudah-mudahan Anda merasakannya.
Dari pengalaman saya mengajak orang melakukan Latihan 1, sangat sedikit sekali yang merasakan dadanya bergetar. Beberapa merasakan "seeerrr", ingin menangis atau merasa ketenangan. Sebagian besar tidak merasakan apa-apa. Apakah mereka yang tidak merasa apa-apa artinya tidak beriman? Bagaimana dengan Anda?
Saya yakin, bahwa Anda yang membaca tulisan ini termasuk orang yang beriman. Tapi kenapa tanda-tanda orang beriman tidak muncul ketika kita menyebut nama Allah? Apakah hati kita telah sekeras batu? Atau kita termasuk orang munafik?
Mari kita lihat dimana letak permasalahannya.
DZIKIRLAH SEBANYAK-BANYAKNYA
"Ketika tadi Anda berdzikir, manakah yang lebih diperhatikan : hitungannya atau Allah-nya?."
Seringkali kita tidak sadar, ketika berdzikir, kita terlalu memperhatikan jumlah hitungan yang harus dicapai. Seolah-olah jumlah hitungan itu sangat penting sehingga kalau meleset, gugurlah pahala dzikir kita. Kita menjadi lupa, bahwa tujuan berdzikir adalah untuk mengingat Allah bukan menghitung bacaan.
Saya tidak menampik banyak hadits yang mengajarkan kita untuk berdzikir dalam jumlah tertentu. Ada yang hanya 3 kali, 33 kali, 100 kali, atau bilangan lainnya, tetapi Al Qur'an menganjurkan lebih dari itu :
Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS : Al Ahzab [33] : 41).
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. (QS : An Nisaa' [4]:103)
Kesemuanya mengajarkan dzikir tanpa hitungan, sebanyak-banyaknya dan setiap saat. Salahkan Rasulullah mengajarkan hitungan? Tentu tidak. Seperti halnya tidak bersalahnya orang tua kita, yang pada waktu kita masih kecil, menyuruh kita berpuasa setengah hari lamanya. Semuanya semata-mata agar kita belajar dan segera memulai perbuatan baik yang diperintahkan Allah. Selanjutnya harus tahu dan berusaha mencapai target sesungguhnya yang Allah ajarkan.
SANG PENCIPTA LANGIT DAN BUMI BERNAMA ALLAH
"Ketika Anda menyebut nama Allah, kemanakah pikiran Anda menuju?"
Nama adalah sebuah simbol dari pemiliknya. Ketika kita menyebut kata “SBY” maka pikiran kita langsung mengarah kepada sosok gagah berwibawa, yang jika berbicara tutur katanya tertata dengan baik, yang menjadi Presiden RI. Ketika kita menyebut kata “ibu”, maka pikiran kita langsung mengarah kepada wanita yang melahirkan kita, melindungi dan menyayangi kita. Wanita yang mengurus dan mendidik kita ketika kita masih kecil. Tetapi ketika menyebutan Allah, kita menjadi bingung dalam membayangkan “sosok” Tuhan.
Ketika kita menyebut nama Allah, tidak perlu kita membayangkan sosok Allah, karena kita tidak akan mampu melakukannya. Allah tidak serupa dengan apapun juga, maka apapun yang kita bayangkan mengenai wujud Allah pasti salah. Cukup sadari saja, bahwa yang kita panggil atau sebut nama-Nya itu adalah nama Dzat pencipta langit dan bumi. Dialah Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang memberi kita hidup lalu memberi kita rejeki sepanjang hidup kita. Tuhan yang sangat berkuasa, bahkan setelah kita mati sekalipun. Dialah yang menetapkan siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang dikirim ke neraka.
Saya ingin memberikan gambaran yang lebih jelas untuk memperbandingkan siapa Allah dan siapa kita ini agar kesadaran kita menjadi lebih terbuka.
Andaikan bumi ini sebesar buah jeruk, maka manusia tak lebih besar dari debu-debu halus atau sel kulit. Kita naikkan skala perbandingannya. Jika matahari sebesar jeruk, maka bumi kira-kira hanya sebesar butiran nasi. Manusia, mungkin tak lebih besar dari molekul yang membentuk kulit jeruk. Kita naikkan lagi skala perbandingannya. Jika galaksi Bima Sakti memiliki diameter sebesar jeruk, maka matahari hanyalah sebesar debu. Bumi mungkin sebesar sel-sel kulit jeruk. Manusia hanyalah seperti elektron-elektron. Kita naikkan lagi skala perbandingannya lebih jauh lagi. Jika alam semesta ini yang kita kenal sekarang ini sebesar ruang keluarga Anda, maka galaksi hanya sebesar debu atau pasir. Matahari hanyalah seperti bakteri atau virus yang berterbangan di udara. Bumi mungkin hanyalah sebesar atom oksigen. Manusia? Masihkah manusia bisa disebut sebagai ada? Kita tidak ada apa-apanya di alam semesta ini, sementara Allah Sang Pencipta lebih besar dari alam semesta itu sendiri.
LATIHAN 2
Duduklah seperti duduk diantara dua sujud (duduk i’tiraj).
Kendorkan badan lalu tundukkanlah hati Anda serendah-rendahnya.
Lalu amati nafas kita. Amati saja tidak perlu diatur.
Amati bahwa nafas kita bergerak sendiri tanpa kita perintah.
Mereka bergerak karena digerakkan Dzat yang memberi kita hidup.
Sadari, bahwa yang akan kita sebut nama Nya adalah nama Dzat yang memberi kita hidup.
Nama Dzat yang menciptakan langit dan bumi.
Nama Dzat Yang Maha Besar, Dzat Yang Maha Agung
Sekarang panggilah nama Dzat yang Maha Besar tanpa menghitung-hitung jumlahnya.
Panggilah dengan rendah hati dan suara lembut:
Allah…
(diam dan rasakan bagaimana Allah merespon panggilan Anda)
Allah…
(diam dan amati apa yang Anda rasakan)
Allah … Allah … Allah …
(panggilan nama Nya secara pelahan-lahan sampai Anda merasa cukup)
Silahkan dimulai.
STOP
Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas
Sekarang apa yang Anda rasakan?
Mudah-mudahan Anda merasakan getaran atau "sesuatu" di dalam dada sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah. Mudah-mudahan Anda tidak termasuk sebagaimana orang yang disebutkan dalam surat Al Hujuraat [49] : 14 dibawah ini.
"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"."
Berbuat dengan penuh kesadaran
Bagi yang bisa merasakan perbedaannya, mari kita evaluasi kenapa bisa terjadi perbedaan antara Latihan 1 dengan Latihan 2?
Pada Latihan 2 kita melakukannya dengan penuh kesadaran. Kita sadar, siapa yang namanya kita sebut. Karena kita sadar, kita jadi mengerti bagaimana kita harus bersikap dan mengamati apa yang sedang terjadi terhadap apa yang kita lakukan. Kesadaran seperti itu biasa disebut sebagai NIAT.
Niat menurut syara' adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan4. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan niat ada sepanjang perbuatan tersebut dilakukan. Niat dalam shalat bukan sekedar mengucapkan "ushalii". Bahkan mengucapkan "ushalii" bukan merupakan bagian dari shalat. Shalat menurut definisi syar'i adalah ibadah yang terdiri dari rangkaian bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam5. Sementara itu, mengucapkan "ushalii" terletak sebelum takbir, artinya diluar kegiatan shalat. “Ushalii” hanya sekedar bacaan yang membantu mengingatkan kita agar kita melakukan shalat dengan penuh niat, dalam arti sungguh-sungguh menghadapkan diri ke Allah sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.
Niat dalam shalat harus ada sepanjang shalat tersebut dilakukan, sejak takbir sampai dengan salam. Jadi takbirlah dengan niat, bacalah Al Fatihah dengan niat, rukuk-lah dengan niat, dan seterusnya sampai dengan salam. Artinya ketika takbir kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang mengagungkan kebesaran Allah. Ketika membaca Al Fatihah, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang memulai berkomunikasi dengan Allah. Ketika kita rukuk, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang menundukkan diri di hadapan Allah SWT. Demikian seterusnya kita selalu melakukan gerakan dan bacaan shalat dengan penuh kesadaran hingga kita mengucapkan salam untuk menebarkan keselamatan ke sekeliling kita.
sumber : e-book shalat khusyuk itu mudah " MardiBros " (www.shalatcenter.com )
Duduklah seperti duduk diantara dua sujud (duduk i’tiraj).
Kendorkan badan lalu tundukkanlah hati Anda serendah-rendahnya.
Lalu amati nafas kita. Amati saja tidak perlu diatur.
Amati bahwa nafas kita bergerak sendiri tanpa kita perintah.
Mereka bergerak karena digerakkan Dzat yang memberi kita hidup.
Sadari, bahwa yang akan kita sebut nama Nya adalah nama Dzat yang memberi kita hidup.
Nama Dzat yang menciptakan langit dan bumi.
Nama Dzat Yang Maha Besar, Dzat Yang Maha Agung
Sekarang panggilah nama Dzat yang Maha Besar tanpa menghitung-hitung jumlahnya.
Panggilah dengan rendah hati dan suara lembut:
Allah…
(diam dan rasakan bagaimana Allah merespon panggilan Anda)
Allah…
(diam dan amati apa yang Anda rasakan)
Allah … Allah … Allah …
(panggilan nama Nya secara pelahan-lahan sampai Anda merasa cukup)
Silahkan dimulai.
STOP
Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas
Sekarang apa yang Anda rasakan?
Mudah-mudahan Anda merasakan getaran atau "sesuatu" di dalam dada sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah. Mudah-mudahan Anda tidak termasuk sebagaimana orang yang disebutkan dalam surat Al Hujuraat [49] : 14 dibawah ini.
"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"."
Berbuat dengan penuh kesadaran
Bagi yang bisa merasakan perbedaannya, mari kita evaluasi kenapa bisa terjadi perbedaan antara Latihan 1 dengan Latihan 2?
Pada Latihan 2 kita melakukannya dengan penuh kesadaran. Kita sadar, siapa yang namanya kita sebut. Karena kita sadar, kita jadi mengerti bagaimana kita harus bersikap dan mengamati apa yang sedang terjadi terhadap apa yang kita lakukan. Kesadaran seperti itu biasa disebut sebagai NIAT.
Niat menurut syara' adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan4. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan niat ada sepanjang perbuatan tersebut dilakukan. Niat dalam shalat bukan sekedar mengucapkan "ushalii". Bahkan mengucapkan "ushalii" bukan merupakan bagian dari shalat. Shalat menurut definisi syar'i adalah ibadah yang terdiri dari rangkaian bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam5. Sementara itu, mengucapkan "ushalii" terletak sebelum takbir, artinya diluar kegiatan shalat. “Ushalii” hanya sekedar bacaan yang membantu mengingatkan kita agar kita melakukan shalat dengan penuh niat, dalam arti sungguh-sungguh menghadapkan diri ke Allah sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.
Niat dalam shalat harus ada sepanjang shalat tersebut dilakukan, sejak takbir sampai dengan salam. Jadi takbirlah dengan niat, bacalah Al Fatihah dengan niat, rukuk-lah dengan niat, dan seterusnya sampai dengan salam. Artinya ketika takbir kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang mengagungkan kebesaran Allah. Ketika membaca Al Fatihah, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang memulai berkomunikasi dengan Allah. Ketika kita rukuk, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang menundukkan diri di hadapan Allah SWT. Demikian seterusnya kita selalu melakukan gerakan dan bacaan shalat dengan penuh kesadaran hingga kita mengucapkan salam untuk menebarkan keselamatan ke sekeliling kita.
sumber : e-book shalat khusyuk itu mudah " MardiBros " (www.shalatcenter.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar