Oleh Abu AzzamSayyif
Kutatap matamu yang berkaca-kaca itu. Engkau sesegukan. Hatiku juga perih kalau engkau sedang berduka. Aku tahu bahwa engkau sangat lelah, mengurus segala keperluanku, merawatku dan jundi-jundi kita, serta bergumul dengan aktivitas lainnya. Tambah lagi, kita jauh merantau di benua berbeda dengan tanah air, engkau pun berkutat dengan Muallaf yang memiliki ragam problema, pasti engkau merindukan orang tua, keponakan-keponakan serta saudara-saudari yang amat menyayangimu. Sabarlah, sayang…
Dan ternyata matamu itu dapat cerah kembali, air mata terhapus dalam sekejap di kala bayi mungilmu mengeluarkan suara jeritan pertamanya, atau gelak tawa renyahnya. Dan engkau masih bisa berucap, “Ini belum seberapa, pasti perjuangan bunda Khadijah dan ummahatul mukminin lainnya amat jauh lebih berat…” Subhanalloh, aku kagum pada kesabaranmu.
Allah SWT memang selalu mengingatkan kita untuk bersabar, "Dan bersabarlah dirimu untuk selalu bersama orang-orang yang menyeru kepada Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharap perhiasan dunia.” (QS. Al-Kahfi [18] : 28)
Aku pernah bercerita tentang sobatku si Fulan, yang punya karir keren bersama istrinya, misalkan gaji si Fulan 10 juta perak, dan gaji istrinya 10 juta perak. Maka setiap bulan, ia peroleh 20 juta perak. Dan mereka dibanjiri nominal rupiah bonus-bonus tahunan, dan sebagainya. Namun kita tak sama. Aku tak ridho jika engkau keluar rumah dan bercampur baur di lingkungan kantor, aku sangat cemburu, apalagi 10 juta perak itu tak sebanding dengan penatnya dirimu, dengan hilangnya kasih sayang dalam keseharian buah hati kita, sisa-sisa tenaga dipakai untuk bersenda-gurau dengan keluarga, apalagi jika dibandingkan dengan berkurangnya waktu kebersamaan antara kita, serta merebaknya fitnah yang terjadi. Dan engkau patuhi hal itu. Subhanalloh, aku bangga dengan ketaatanmu.
Bahkan kita tak menyangka, hidup kita lebih makmur dari pada si Fulan yang ‘bergaji double’ namun terlilit utang. Begitulah keberkahan Allah ta’ala, kita sudah membuktikannya, duhai Bidadariku.
Aku ingat tentang temanku si X, ia berpacaran hingga pernah se-atap dengan calon istrinya. Bahkan makin berubah kebarat-baratan dengan budaya kumpul kebo, demi menunggu ‘waktu pernikahan’, menabung hingga beratus-ratus juta rupiah agar dapat melaksanakan pesta pernikahan yang meriah.
Kemudian Allah SWT mengirimkan cubitan bagi mereka, yang hingga kini masih belum juga menggendong bayi, bahkan mereka harus mengikuti terapi karena memiliki penyakit pada alat reproduksinya. Sedangkan engkau dan aku, yang menikah di kala cacian dan sindiran ramai orang-orang sekitar karena walimah kita amat sederhana, ternyata Allah SWT curahkan kemudahan dalam semua aktivitas, termasuk kehamilanmu, melahirkan bahkan di negara yang berbeda-beda, menyusui dengan lancar, hingga anak-anak memasuki usia sekolah. Subhanalloh, aku bersyukur menjadi pendampingmu.
Ketika malam-malam di sudut jalan ternyata sama ‘suasananya’, berbagai kota di Eropa, Asia termasuk Indonesia, ada banyak wanita malam bergentayangan, mereka menjual pelayanan atas diri mereka, bahkan tanpa malu-malu memasang label harga ‘per-jam’, dsb, bahkan wanita-wanita itu menularkan ‘gaya hidup konsumtif’ kepada wanita lainnya, dan aku masih engkau percayai bahwa diriku tak tergoda akan ‘iklan’ bejat itu. Oh Allah, aku amat bersyukur pada-Mu, karena masih ada wanita mulia, yang menyimpan perhiasan dirinya hanya untuk suami, yang menyerahkan kepercayaan nuraninya kepada sang imam, yang taat pada-Mu sebagai wanita sholihat, ia Bidadariku. Di dalam rumahku.
Suatu hari, aku tersenyum sendiri, seorang teman bercerita bahwa ia sudah ‘goal’ meminjam uang di bank, uang itu untuk dipergunakan membiayai pesta pertunangan, lamaran, serta resepsinya, bahkan ‘tradisi hantaran’-nya saja menelan biaya 20 juta rupiah, apalagi cincin berlian sebagai maharnya. Duhai Bidadariku, aku katakan lagi, rasa kagumku padamu, aku ingat sembilan tahun lalu, tentang mahar yang engkau minta, “Akhi hafal Qur’an?” tanyamu.
Kujawab, “Saya baru hafal juz sekian serta juz sekian, dik…”
Kemudian engkau balas, “Akhi belum hafal surat Al-Kahfi dan surat Yasin, kan?”
Ya, surat itu panjang sekali, memang aku belum hafal. “Belum, dik…” ujarku.
Lantas engkau tulis email, “Kalau begitu hafalan surat Yasin dan Al-Kahfi, serta 3 surat terakhir dari Al-Qur’an sebagai mahar, sanggup?”
Hffffiuh… Itu berat buatku. Apalagi waktu itu, aku banyak tugas kuliah. Namun aku bangga pada tekadmu, tekad kuat yang menularkan kegigihan padaku, menghadirkan tanggung jawab besar dalam jiwaku untuk menjaga keluarga kita, semata karena Allah ta’ala. Kemudian, “Yes!” Alhamdulillah, aku bisa mengabulkan ‘setoran hafalan’ itu.
Dan Bidadariku, kucuran rezeki-Nya amat deras, bahkan berlian pun dapat kuhadiahkan buatmu tanpa perlu mengumbar janji-janji palsu. Namun dengan kesetiaanmu pada cinta-Nya, bahkan engkau korbankan uang belanja keperluanmu demi banyak hal di perjalanan ini, engkau katakan, “Mas, yang ini, itu, serta tabunganku sekian silakan gunakan saja untuk keperluan masjid, pasti nanti Allah ganti dengan yang lebih baik buat akhirat, insya Allah…” Subhanalloh, padahal benda-benda itu pernah amat engkau inginkan, Adinda. Namun engkau ikhlaskan demi mulusnya jalan juang. Duhai Bidadariku, aku adalah pria paling beruntung di dunia ini karena Allah menjadikanku sebagai kekasihmu, dan semoga Dia mengekalkan cinta kita, amiin.
Terima kasih Ya Allah… Limpahkan kekuatan bagi kami dalam membangun gubuk di jannah-Mu kelak, jagalah hati kami agar tak pernah berpaling dari-Mu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya, "Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah".(HR. Muslim)
Hartaku bukanlah rumah mewah, bukan barisan koleksi mobil mewah, bukan pula berhektar-hektar tanah, sawah, serta pulau dan vila, milyaran dana pun aku tiada punya. Harta terindah yang dititipkanNya padaku adalah engkau, dan mujahid-mujahid kita. Bidadariku, tulisan ini pun belum seberapa…
[Setiba kembali dari Belgia ke Krakow. Awal musim Gugur, 2011]
Sumber : http://www.eramuslim.com/oase-iman/abu-azzamsayyif-buat-bidadariku.htm
Kutatap matamu yang berkaca-kaca itu. Engkau sesegukan. Hatiku juga perih kalau engkau sedang berduka. Aku tahu bahwa engkau sangat lelah, mengurus segala keperluanku, merawatku dan jundi-jundi kita, serta bergumul dengan aktivitas lainnya. Tambah lagi, kita jauh merantau di benua berbeda dengan tanah air, engkau pun berkutat dengan Muallaf yang memiliki ragam problema, pasti engkau merindukan orang tua, keponakan-keponakan serta saudara-saudari yang amat menyayangimu. Sabarlah, sayang…
Dan ternyata matamu itu dapat cerah kembali, air mata terhapus dalam sekejap di kala bayi mungilmu mengeluarkan suara jeritan pertamanya, atau gelak tawa renyahnya. Dan engkau masih bisa berucap, “Ini belum seberapa, pasti perjuangan bunda Khadijah dan ummahatul mukminin lainnya amat jauh lebih berat…” Subhanalloh, aku kagum pada kesabaranmu.
Allah SWT memang selalu mengingatkan kita untuk bersabar, "Dan bersabarlah dirimu untuk selalu bersama orang-orang yang menyeru kepada Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharap perhiasan dunia.” (QS. Al-Kahfi [18] : 28)
Aku pernah bercerita tentang sobatku si Fulan, yang punya karir keren bersama istrinya, misalkan gaji si Fulan 10 juta perak, dan gaji istrinya 10 juta perak. Maka setiap bulan, ia peroleh 20 juta perak. Dan mereka dibanjiri nominal rupiah bonus-bonus tahunan, dan sebagainya. Namun kita tak sama. Aku tak ridho jika engkau keluar rumah dan bercampur baur di lingkungan kantor, aku sangat cemburu, apalagi 10 juta perak itu tak sebanding dengan penatnya dirimu, dengan hilangnya kasih sayang dalam keseharian buah hati kita, sisa-sisa tenaga dipakai untuk bersenda-gurau dengan keluarga, apalagi jika dibandingkan dengan berkurangnya waktu kebersamaan antara kita, serta merebaknya fitnah yang terjadi. Dan engkau patuhi hal itu. Subhanalloh, aku bangga dengan ketaatanmu.
Bahkan kita tak menyangka, hidup kita lebih makmur dari pada si Fulan yang ‘bergaji double’ namun terlilit utang. Begitulah keberkahan Allah ta’ala, kita sudah membuktikannya, duhai Bidadariku.
Aku ingat tentang temanku si X, ia berpacaran hingga pernah se-atap dengan calon istrinya. Bahkan makin berubah kebarat-baratan dengan budaya kumpul kebo, demi menunggu ‘waktu pernikahan’, menabung hingga beratus-ratus juta rupiah agar dapat melaksanakan pesta pernikahan yang meriah.
Kemudian Allah SWT mengirimkan cubitan bagi mereka, yang hingga kini masih belum juga menggendong bayi, bahkan mereka harus mengikuti terapi karena memiliki penyakit pada alat reproduksinya. Sedangkan engkau dan aku, yang menikah di kala cacian dan sindiran ramai orang-orang sekitar karena walimah kita amat sederhana, ternyata Allah SWT curahkan kemudahan dalam semua aktivitas, termasuk kehamilanmu, melahirkan bahkan di negara yang berbeda-beda, menyusui dengan lancar, hingga anak-anak memasuki usia sekolah. Subhanalloh, aku bersyukur menjadi pendampingmu.
Ketika malam-malam di sudut jalan ternyata sama ‘suasananya’, berbagai kota di Eropa, Asia termasuk Indonesia, ada banyak wanita malam bergentayangan, mereka menjual pelayanan atas diri mereka, bahkan tanpa malu-malu memasang label harga ‘per-jam’, dsb, bahkan wanita-wanita itu menularkan ‘gaya hidup konsumtif’ kepada wanita lainnya, dan aku masih engkau percayai bahwa diriku tak tergoda akan ‘iklan’ bejat itu. Oh Allah, aku amat bersyukur pada-Mu, karena masih ada wanita mulia, yang menyimpan perhiasan dirinya hanya untuk suami, yang menyerahkan kepercayaan nuraninya kepada sang imam, yang taat pada-Mu sebagai wanita sholihat, ia Bidadariku. Di dalam rumahku.
Suatu hari, aku tersenyum sendiri, seorang teman bercerita bahwa ia sudah ‘goal’ meminjam uang di bank, uang itu untuk dipergunakan membiayai pesta pertunangan, lamaran, serta resepsinya, bahkan ‘tradisi hantaran’-nya saja menelan biaya 20 juta rupiah, apalagi cincin berlian sebagai maharnya. Duhai Bidadariku, aku katakan lagi, rasa kagumku padamu, aku ingat sembilan tahun lalu, tentang mahar yang engkau minta, “Akhi hafal Qur’an?” tanyamu.
Kujawab, “Saya baru hafal juz sekian serta juz sekian, dik…”
Kemudian engkau balas, “Akhi belum hafal surat Al-Kahfi dan surat Yasin, kan?”
Ya, surat itu panjang sekali, memang aku belum hafal. “Belum, dik…” ujarku.
Lantas engkau tulis email, “Kalau begitu hafalan surat Yasin dan Al-Kahfi, serta 3 surat terakhir dari Al-Qur’an sebagai mahar, sanggup?”
Hffffiuh… Itu berat buatku. Apalagi waktu itu, aku banyak tugas kuliah. Namun aku bangga pada tekadmu, tekad kuat yang menularkan kegigihan padaku, menghadirkan tanggung jawab besar dalam jiwaku untuk menjaga keluarga kita, semata karena Allah ta’ala. Kemudian, “Yes!” Alhamdulillah, aku bisa mengabulkan ‘setoran hafalan’ itu.
Dan Bidadariku, kucuran rezeki-Nya amat deras, bahkan berlian pun dapat kuhadiahkan buatmu tanpa perlu mengumbar janji-janji palsu. Namun dengan kesetiaanmu pada cinta-Nya, bahkan engkau korbankan uang belanja keperluanmu demi banyak hal di perjalanan ini, engkau katakan, “Mas, yang ini, itu, serta tabunganku sekian silakan gunakan saja untuk keperluan masjid, pasti nanti Allah ganti dengan yang lebih baik buat akhirat, insya Allah…” Subhanalloh, padahal benda-benda itu pernah amat engkau inginkan, Adinda. Namun engkau ikhlaskan demi mulusnya jalan juang. Duhai Bidadariku, aku adalah pria paling beruntung di dunia ini karena Allah menjadikanku sebagai kekasihmu, dan semoga Dia mengekalkan cinta kita, amiin.
Terima kasih Ya Allah… Limpahkan kekuatan bagi kami dalam membangun gubuk di jannah-Mu kelak, jagalah hati kami agar tak pernah berpaling dari-Mu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya, "Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah".(HR. Muslim)
Hartaku bukanlah rumah mewah, bukan barisan koleksi mobil mewah, bukan pula berhektar-hektar tanah, sawah, serta pulau dan vila, milyaran dana pun aku tiada punya. Harta terindah yang dititipkanNya padaku adalah engkau, dan mujahid-mujahid kita. Bidadariku, tulisan ini pun belum seberapa…
[Setiba kembali dari Belgia ke Krakow. Awal musim Gugur, 2011]
Sumber : http://www.eramuslim.com/oase-iman/abu-azzamsayyif-buat-bidadariku.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar