Seorang muslimah dengan berkaca-kaca bercerita kepada saya bahwa ia ingin segera
menikah. Masalah itu begitu berat membebani pikirannya bahkan mempengaruhi ibadahnya.
Ia menjadi tidak tenang, shalat tidak khusyu', juga sulit tidur. Kondisi fisiknya
tentu jadi ikut terpengaruh.
Saya sedih mendengar curhatnya. Saya juga mencoba memahami perasaannya. Tapi
wajarkah jika hal ini mengacaukan segalanya?
Ketika kuliah saya berharap bisa menikah maksimal usia 25 tahun. Namun Allah
swt baru memberikan jodoh saat usia saya 27 tahun. Meski 'hanya' 2 tahun menanti,
masa itu nyatanya tidaklah dapat dikatakan sebentar untuk menguji kesabaran
jika tanpa ketegaran, rasa percaya diri, bebas dari prasangka dan perasaan tertekan.
Satu hal yang membuat saya selalu merasa bersyukur saat itu adalah, Allah menolong
saya tetap memiliki obsesi dan berkarya.
Saya gemas mendengar seorang ummahat berujar kepada muslimah yang usianya jauh
lebih tua namun belum berkeluarga, ''Wah, kalau gitu saya dong yang harusnya
dipanggil 'Mbak'. Anak saya kan sudah tiga.''
Saya saja tidak nyaman dengan
ucapannya, apalagi yang bersangkutan? Saya tidak tahu, apakah ia sudah kehilangan
kepekaan? Atau, memang begitu sifat manusia yang kerap di 'uji' dengan berbagai
kemudahan dari Allah?
Seandainya tidak terlambat menemukan ungkapan indah dalam surat Al-Kahfi ayat
46: ''Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk
menjadi harapan.'' Tentu saat itu saya akan menyadarkannya untuk bersikap
lebih dewasa.
Manusia boleh berharap banyak tapi tidak selalu bisa memilih. Seandainya bisa
pasti ia akan memilih yang 'enak-enak' berdasarkan nafsunya. Inilah bagian dari
mengimani takdir. Dalam masalah jodoh, perspektif iman harus senantiasa dikedepankan.
Banyaknya muslimah yang belum menikah pada usia matang harus disikapi secara
arif. Selain harus dicari solusinya, muslimah sebaiknya melakukan pembekalan
diri. Semuanya tergantung kepadanya, apakah ia akan memandang sebagai ujian
ataukah kelemahan? Jika ujian, maka mencari hikmah sebanyak-banyaknya akan lebih
berkesan dan membahagiakan daripada mencemaskannya. Jika dianggap kelemahan,
tidak akan ada yang didapat selain perasaan tertekan.
Sudah selayaknya pula seorang muslimah memandang makna pernikahan dari berbagai
sisi. Saya mendengar sekarang ini banyak mahasiswi muslimah tingkat I yang minta
dicarikan pasangan oleh 'pembina'nya, karena saking seringnya ia mendengar keindahan
pernikahan digelar lewat berbagai seminar di kampus.
Bukan melarang untuk memikirkan dunia pernikahan pada usia relatif muda, tetapi
yang jadi masalah adalah ketika harapan itu tidak segera terwujud. Kondisi ini
jika tidak diimbangi kematangan jiwa dapat melemahkan semangat beraktivitas
dan beribadah.
Agaknya, lebih positif jika muslimah membekali diri dengan cara menggali potensi
diri dan prestasi, agar ia memiliki kematangan berpikir dan bisa menghargai
diri sendiri, daripada hanya membayangkan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu
kapan dapat terwujud.
Menikah adalah sunah Rasul dan ibadah, ia pun merupakan ladang jihad muslimah.
Saya yakin prestasi dan kualitas seorang muslimah sebelum menikah berbanding
lurus dengan kualitasnya sesudah menikah. Artinya, kualitas seseorang setelah
berumah tangga baik secara ruhiyah, fikriyah maupun amaliah sangat dipengaruhi
bagaimana sosoknya sebelum menikah. Fenomena futur setelah menikah sering terjadi,
karena kurangnya pemahaman dan wawasan tentang pernikahan sejak masih lajang.
Karena pernikahan dianggap presatsi tertinggi yang bisa diraih.
Jika Allah memang belum mengabulkan apa yang kita harapkan, hiburlah diri dengan
prasangka tinggi bahwa semakin Allah menunda insya Allah semakin baik kualitas
yang akan Allah berikan suatu saat nanti karena Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan
kesabaran hamba-Nya. Bagi yang sudah berkeluarga, selayaknya mensyukuri pernikahan
dengan mengemban amanah sebaik-baiknya. Kalaupun belum mampu memberikan solusi,
menjaga perasaan dan memiliki kepekaan kepada sesama adalah hal terbaik dalam
ikatan ukhuwah kita.
sumber : http://www.dudung.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar