Tadinya mereka tidak terlalu rusuh dengan kehadiran ibu tua itu.
Sebagai seorang anak yang merasa dilahirkan dari rahim ibunya, Hasan
tidak tega membiarkan ibunya hidup terpisah semenjak bapak Hasan
meninggal. Istrinya juga tidak keberatan, apalagi perempuan itu
merasakan sangat besar kegunaan mertuanya di rumah. Ibu itu masih bisa
membantu-bantu pekerjaan rumah tangganya sehingga tertolong sedikit
meskipun ia tidak punya pembantu.
Namun semenjak hamilnya makin
besar dan dilihatnya si ibu mertua tambah parah batuknya, dadanya kian
kempis dan pernah memuntahkan darah, Nazulah mulai bingung. Kalau ibu
yang sakit paru-paru itu tidak segera diungsikan, maka ia khawatir
penyakitnya akan menular dan membahayakan anaknya yang bakal lahir.
Maka,
setelah merasa hampir dekat melahirkan, Nazulah berkata kepada
suaminya,"Bang, sakit biu ternyata penyakit yang menular. Jadi kita
harus mencarikan jalan supaya anak kita nanti jangan bergaul dengannya."
Hasan kaget mendengar bicara istrinya ini. "Maksudmu?". "Kita harus berpisah dari ibu," jawab Nazulah.
Hasan
termenung mendengar permintaan istrinya. Sebetulnya ia merasa berat
terhadap ibunya, namun karena Nazulah mendesak terus, dan ia menganggap
alasan istinya cukup kuat, terutama demi anak mereka, maka Hasan membuat
gubuk kecil di pekarangan belakang rumah. Dengan perasaan yang masygul
ia menyuruh ibunya pindah, tinggal di gubuk itu.
Ibu itu adalah
seorang mertua dan nenek yang baik, Ia tahu diri. Ia menganggap umurnya
adalah sisa-sisa kesenangan hidup yang pernah dinikmatinya. Maka tanpa
sedih sedikitpun Ia pindah ke gubuk itu.
Mula-mula segala kebutuhan perempuan itu masih diperhatikan sekali.
Namun, sesudah anak mereka makin besar, Hasan dan istrinya hanya
mengingat Maqbullah, anaknya. Seluruh perhatiannya cuma ditumpahkan
kepada anak yang manis dan pintar itu. Sampai nasib ibu tua di gubuk itu
sering terlantar. Piring dan gelas buat makan atau minumnya sudah lama
pecah, tetapi Nazulah lupa menggantinya dengan yang lain. Sehingga untuk
makan dan minumnya si nenek terpaksa mencari tempurung kelapa.
Adapun
Nazulah sama sekali melarang anaknya dekat-dekat dengan gubuk yang
terdapat di belakang rumah. Dalam usia tiga tahun itu MAqbullah tidak
tahu bahwa yang tinggal di gubuk itu adalah neneknya sendiri. Sebab ia
akan dimarahi oleh bapak dan ibunya kalau bermain-main mendekati tempat
itu.
Namun pada suatu hari Maqbullah berhasil masuk ke sana,
karena kebetulan hari itu bapak dan ibunya tidak di rumah. Dengan
mengendap-endap ia mengintip melalui lubang pintu. Dilihatnya ada
seorang perempuan tua sedang duduk di atas dipan rombeng. Rambutnya
sudah putih semua, badannya bungkuk.
Dasar Maqbullah seorang anak
yang berani, melihat pemandangan itu bukannya takut, malah dia gembira.
Dengan mulutnya yang kecil itu ia memanggil-manggil. "Nek, nenek tua,
bukakan pintu nek."
Alangkah gembiranya wajah nenek itu di dalam
gubuknya. Tiba-tiba darah segar membersit memerahkan warna mukanya.
Matanya bersinar lantaran suara itulah yang selama ini dirindukannya.
Sambil terseok-seok ia berjalan ke pintu, lantas dibukanya. "Siapa kamu,
nak?" tanya nenek itu.
"Bullah," jawab si anak itu. "Oh, cucuku. Dimana bapak dan ibumu?"
"Pergi," sahut Maqbullah. "Pergi ke mana?" tanya si nenek tambah gembira.
"Jauh," jawab Maqbullah. "Saya ingin masuk, Nek."
Betapa
bahagianya nenek itu dapat menggandeng cucunya memasuki gubuk tersebut.
Hingga tengah hari Bulah bermain-main di situ. Rupanya anak kecil itu
haus. Ia meminta kepada neneknya,"Nek,minum..."
Si nenek mengambil tempurung kelapa."Nenek tidak punya gelas. Nenek hanya punya ini buat minum".
Anak itu heran. "Memang nenek ini siapa sih, tidak punya gelas?". "Aku adalah nenekmu, ibu bapakmu."
"Kenapa tidak punya gelas?", "Orang tua tidak boleh pakai gelas...."
Demikianlah
ketika sudah puas bermain-main di situ, Maqbullah permisi pulang.
Untung waktu itu Hasan dan istrinya belum kembali. Jika sudah, pastilah
si nenek yang akan dimarahinya.
Peristiwa itu sudah dua hari
terjadi, tatkala mereka bertiga berjalan-jalan melihat-lihat kota. Pada
suatu tempat di pinggir jalan, ada selokan kotor. Di dalam selokan
tersebut ada sebuah tempurung kelapa yang tersangkut di pinggir. Melihat
tempurung itu Maqbullah memaksa minta diambilkan. Setelah Hasan
mengambil dan membersihkan tempurung itu, Nazulah bertanya kepada
anaknya,"buat apa Bulah minta tempurung ini?"
Tanpa berpikir si anak menjawab,"buat tempat minum ibu kalau ibu sudah tua."
Terkejut Hasan dan istrinya mendengar jawaban ini. Mereka bertanya,"Mengapa begitu?"
"Nenek
Bulah yang tinggal di gubuk itu juga dikasih makan dan minum pakai
tempurung. Entar kalau Bulah sudah besar dan ibu sudah tua, Bulah akan
kasih tempurung buat ibu, dan dibuatkan gubuk jelek buat tidur ibu."
Mendengar
jawaban itu sadarlah Hasan dan Nazulah akan kelakuan mereka. Tiba-tiba
mereka takut akan ancaman Tuhan terhadap anak yang durhaka. Maka mereka
segera merubah sikapnya terhadap orang tuanya, diajak kembali dan diberi
perawatan kesehatan atas penyakitnya.
Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.
Penerbit : Pt Remaja Rosdakarya, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar