Senin, 16 Mei 2011

At-Tawadhu’

Muqaddimah
Rasululloh Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang yang sangat elok akhlaknya dan sangat berwibawanya. Akhlak beliau adalah Al-Qur’an sebagaimana yang dituturkan ‘Aisyah Radhiyallahu’anha, ia berkata, yang artinya: “Akhlak Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an.” [HR: Muslim].
Beliau juga pernah bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [HR. Ahmad]

Salah satu bentuk ketawadhu’an Rasululloh Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam adalah beliau tidak suka dipuji dan disanjung secara berlebihan. Dari Umar bin Kaththab Radhiyallaahu anhu ia berkata: Rasululloh Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, yang artinya: “Janganlah kamu sanjung aku (secara berlebihan) sebagaimana kaum Nasrani menyanjung ‘Isa bin Maryam alaihis salam secara berlebihan. Aku hanyalah seorang hamba Alloh, maka panggillah aku dengan sebutan: ‘Abdullah dan Rasulullah.” [HR: Abu Daud]

Dari Anas bin Malik Radhiyallaahu anhu ia berkata, yang artinya: “Ada beberapa orang memanggil Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa aallam sambil berkata: “Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik dan anak orang yang terbaik di antara kami, wahai junjungan kami dan anak dari junjungan kami.” Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam segera menyanggah seraya berkata: “Wahai sekalian manusia, katakanlah sewajarnya saja! Jangan sampai kamu digelincirkan setan. Aku adalah Muhammad hamba Alloh dan rasul-Nya. Aku tidak sudi kamu angkat di atas kedudukan yang dianugrahkan Allah Subhannahu wa Ta’ala kepadaku.” [HR: An-Nasai]

Sebagian orang ada yang menyanjung Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan. Sampai-sampai ia meyakini bahwa Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ilmu ghaib atau meyakini bahwa beliau memiliki hak untuk memberikan manfaat dan menurunkan mudharat, bahwa beliau dapat mengabulkan segala permintaan dan menyembuhkan segala penyakit. Padahal Allah Subhannahu wa ta’ala telah menyanggah keyakinan seperti itu. Allah berfirman, yang artinya: “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik keman-fa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.” [QS: Al-Araf: 188]
Demikianlah akhlak Nabi yang mulia, seorang utusan Allah, sebaik-baik manusia di muka bumi dan seutama-utama makhluk di kolong langit. Beliau senantiasa tunduk patuh dan bertaubat kepada Rabbnya. Beliau tidak menyukai kesombongan, bahkan beliau adalah pemimpin kaum yang tawadhu’ dan penghulu kaum yang tunduk patuh kepada Rabb. Anas bin Malik Radhiyallaahu anhu mengungkapkan, yang artinya: “Tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai daripada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun begitu, apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambut beliau. karena mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai cara seperti itu.” [HR: Ahmad]

Definisi Tawadhu
Yaitu sikap merendahkan dan menghinakan diri kepada yang berhak yaitu Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi, juga kepada orang-orang yang Allah Subhannahu wa ta’ala perintahkan kita untuk bersikap tawadhu’ pada mereka seperti kepada para Nabi Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam, para Imam dan qiyadah, para hakim, para ulama, dan orangtua.
Adapun bersikap tawadhu’ pada semua makhluk maka hukum terpuji jika diniatkan untuk mencari ridha Allah. Nabi Shalallaahu shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan pernah berkurang harta karena bersedekah, dan tidaklah seorang hamba bersikap pemaaf kecuali akan ditambah kemuliannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu’ kecuali akan diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [HR. Muslim]. Sedangkan bersikap tawadhu’ pada ahli dunia dan orang zhalim maka hal tersebut bertentangan dengan sikap ‘izzah.
Tawadhu’ lebih umum dari khusyu’, karena ia mencakup pada sesama hamba dan pada Sang Pemilik hamba, sedangkan khusyu’ tidak boleh dilakukan kecuali hanya pada Pemilik hamba saja.
Al-Fudhail rahimahullah berkata: “Tawadhu’ adalah sikap menerima kebenaran dan melaksanakannya dan menerima kebenaran tersebut dari siapapun datangnya.”
‘Atha berkata: “Yaitu sikap menerima kebenaran dari manapun datangnya, sikap ‘izzah adalah bagian dari tawadhu’ juga, tetapi sikap sombong bukan bagian dari tawadhu’, barangsiapa mencari-cari kemungkinan bersikap sombong dari tawadhu’ sama seperti seorang yang mencoba mencari air di dalam api.”
Berkata seorang ‘alim saat menasihati putranya: “Wahai ananda, hiasilah ketinggianmu dengan sikap tawadhu’, sikap kemuliaan dengan agama dan ambillah sifat pemaaf dari Allah Subhanahu wa ta’ala dengan bersikap pemaaf juga pada semua manusia.”

Urgensi At-Tawadhu’
Allah akan meninggikan derajat orang yang tawadhu’.
Sifat tawadhu’ bukanlah suatu kehinaan, justru dengan ketawadhu’an dapat mengangkat derajat seseorang. Karena pada dasarnya setiap manusia menginginkan untuk dihormati, dan diperlakukan sama dengan pihak lainnya. Sehingga bila ada seseorang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, menghormati orang lain, tidak meremehkannya, menghargai pendapatnya, tentu pihak lainnya pun akan memperlakukan sama bahkan bisa lebih dari itu.
Hal ini merupakan suatu realita yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang memiliki sifat mulia ini akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya dan akan dicintai oleh mereka. Berbeda dengan orang yang sombong, orang-orang akan menganggapnya rendah sebagaimana dia menganggap orang lain rendah, tidak akan disebut-sebut kebaikannya dan orang-orang pun membencinya. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ , وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا , وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Tidak akan berkurang suatu harta karena dishadaqahkan, dan Allah tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan hatinya karena Allah, melainkan Allah angkat derajatnya.” [HR. Muslim]
Meraih Surga.
Tentu orang-orang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, mereka itu adalah sebenar-benarnya mushlihun. Yaitu orang-orang yang suka mendatangkan kebaikan dan kedamaian. Karena sikap tawadhu’ tersebut akan melahirkan akhlak-akhlak terpuji lainnya dan akan menjauhkan orang-orang yang berhias dengannya dari sikap-sikap amoral (negatif) yang dapat merusak keharmonisan masyarakat. Oleh karena itu Allah menjanjikan Surga bagi orang-orang yang memiliki sikap tawadhu’ bukan kepada orang-orang yang sombong, sebagaiamana dalam firman-Nya (artinya):

“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Qashshash: 83)
Rasulullah bersabda:

لاَيَدْخُلُ الجنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk al jannah barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar semut.” [H.R. Muslimin]

Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah mendengar Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan seluruh umat manusia dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan kemuliaan derajat yang lebih di antara manusia yang lain. Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena faktor apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang berujar kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang mati syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’ Pada keesokan harinya, laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika dia selesai bercerita maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi orang tidur!” Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar memegang urusan pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu menjawab, “Bukankah anda telah menolak cerita saya dahulu?!” Umar mengatakan, “Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu dia sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu ‘anhu tidak merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya dia tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” [Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104].

Sumber    :  http://muslimahtips.com/akhlak/54-at-tawadhu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

listen qur'an

Listen to Quran