Selasa, 17 Mei 2011

Wara'

Zaman terus berubah, namun keadaan zaman kita ini jauh lebih buruk dari zaman pendahulu-pendahulu kita. Nyaman dengan fasilitas dan kecanggihan yang ada, seharusnya semakin mempermudah kita untuk menuntut ilmu syar’i, berdakwah atau aktivitas lain untuk menegakkan kalimat Allah, justru sebaliknya kenyamanan ini membuat kita semakin jauh dari kegiatan tersebut. Tidak hanya itu, sebagai seorang muslim, adanya sarana kemudahan atau tidak sudah sepantasnya memanfaatkan waktun mereka untuk mencari keridhaan-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Asr: 1-3)

Begitu berharga dan mulianya waktu sehingga Allah bersumpah atasnya. Waktu yang telah berlalu tidak akan kembali, sehingga kita dapati para salaf yang mulia sangat bersemangat untuk menjaga waktu hingga dalam keadaan sakaratul maut. Bagaimana dengan kita?

Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah Subhanahu wa ta’ala di dunia maupun di akhirat. Sifat seperti ini disebut wara'. Sifat wara’ termasuk jenis takut yang membuat seseorang kadang meninggalkan hal yang sebenarnya dibolehkan baginya. Demi kebaikan yang meyakinkan serta dirinya juga tidak merasa berat dengan hal tersebut menjadikan dia sibuk dengan amalan-amalan tinggi. Larutnya seseorang dalam perkara-perkara yang mubah memungkinkan menjerumuskan seseorang pada hal-hal yang tidak memberikan manfaat yang banyak pada agama ataupun dunianya, yang akhirnya sesuatu yang mubah tidak teroptimalkan untuk ketaatan kepada Allah dalam segala bentuknya.

Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dia menyatakan bahwa sesungguhnya  Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda: "Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah baginya.”[HR. At Tirmidzi]. Sabda Nabi “yang tidak berfaedah baginya”, yaitu tidak penting dan tidak bermanfaat. Hadits ini termasuk jawaami’ al kalim nabawi (sabda Nabi yang mengandung makna yang sangat dalam dan luas). Hadits ini bersifat umum, mencakup seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak berfaedah. Tujuan hadits juga mencakup seluruh perbuatan secara umum, termasuk di dalamnya tidak bermegah-megahan dalam kehidupan dunia, tidak berambisi untuk mendapatkan jabatan, kepemimpinan dan pujian-pujian dari orang lain serta hal-hal lainnya yang sebenarnya tidak berguna untuk kebaikan agama dan untuk urusan dunia. [Subulus Salam, Syarah Bulughul Maram hal 856-857].

Ibnul Qayyim menuturkan bahwa “Waktu seseorang pada hakikatnya adalah umurnya. Apabila dia menghabiskan waktunya dalam kelalaian, kealpaan dan keinginan-keinginan yang bathil dan sebaik-baik pengisi waktu baginya adalah tidur dan menganggur, maka kematian orang ini lebih baik daripada kehidupannya” [Al Jawabul Kafi, Ibnul Qayyim].

Ibnu Aqil adalah seorang yang sangat menjaga waktu. Ibnu rajab Al Hambali Rahimahullah menceritakan kepada kita, “Ibnu Aqil berkata: ’Aku menyingkat semaksimal mungkin waktu-waktu makan, sehingga aku memilih memakan kue kering yang diselupkan dalam air (dimakan sambil dibasahi) dari pada memakan roti, karena selisih waktu mengunyahnya (waktu dalam mencelup kue dengan air lebih pendek daripada waktu memakan roti) bisa aku gunakan untuk membaca atau menulis suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui (Dia melakukan itu supaya bisa memanfaatkan waktu lebih). (Dzailuth Thabaqatil Hamabilah,Ibnu Rajab,1/177).
Sumber   : http://muslimahtips.com/akhlak/48-wara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

listen qur'an

Listen to Quran